Saturday, May 20, 2017

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KERACUNAN PESTISIDA ORGANOFOSFAT, KARBAMAT DAN KEJADIAN ANEMIA PADA PETANI HORTIKULTURA DI DESA TEJOSARI KECAMATAN NGABLAK KABUPATEN MAGELANG


Ringkasan Penelitian

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KERACUNAN PESTISIDA ORGANOFOSFAT,
KARBAMAT DAN KEJADIAN ANEMIA PADA
PETANI HORTIKULTURA DI DESA TEJOSARI
KECAMATAN NGABLAK KABUPATEN MAGELANG
                                                                                                    











Dikutip dari hasil Karya Tulis Ilmiah
Yodenca Assti Runia
Disusun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Hyiegene Perusahaan :
Nama  :  VERONALIA (311.13.031)


Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Nusa Tenggara Barat
2015

 A. Latar Belakang
Iklim tropis di Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki tanah yang subur dan cocok untuk ditanami berbagai macam jenis tanaman. Dalam upaya
meningkatkan mutu dan produktivitas hasil pertanian, penggunaan pestisida
untuk membasmi hama tanaman sering tak terhindarkan. Pestisida yang
digunakan diharapkan dapat membantu petani dalam mendapatkan keuntungan
yang maksimal. i Penggunaan pestisida secara berlebihan dan tidak terkendali
seringkali memberikan risiko keracunan pestisida bagi petani. Risiko
keracunan pestisida ini terjadi karena penggunaan pestisida pada lahan
pertanian khususnya sayuran. ii
Penggunaan pestisida dengan dosis besar dan dilakukan secara terus
menerus akan menimbulkan beberapa kerugian, antara lain residu pestisida
akan terakumulasi pada produk-produk pertanian, pencemaran pada
lingkungan pertanian, penurunan produktivitas, keracunan pada hewan,
keracunan pada manusia yang berdampak buruk terhadap kesehatan. Manusia
akan mengalami keracunan baik akut maupun kronis yang berdampak pada
kematian.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan setiap tahun
terjadi 1 – 5 juta kasus keracunan pestisida pada pekerja pertanian dengan
tingkat kematian mencapai 220.000 korban jiwa. iv Sekitar 80% keracunan
dilaporkan terjadi di negara-negara sedang berkembang.v
Pada tahun 2006 di Kabupaten Magelang telah dilaksanakan
pemeriksaan aktivitas kholinesterase pada petani yang berlokasi di
7 kecamatan dengan jumlah petani yang diperiksa sebanyak 550 orang dan
menunjukkan 99,8% keracunan dengan rincian : keracunan berat 18,2%;
keracunan sedang 72,73%; keracunan ringan 8,9% dan normal 0,18%. Hasil
penelitian di Kecamatan Ngablak jumlah petani yang diperiksa 50 orang
menunjukkan 98% mengalami keracunan dengan rincian : keracunan berat
16%, keracunan sedang 48% dan keracunan ringan 34%.vi
Penelitian yang dilakukan oleh Prihadi pada tahun 2007 menunjukkan
bahwa sebesar 76,47 % petani di Desa Sumberejo Kecamatan Ngablak
mengalami keracunan akibat pestisida dan 60,29% petani menderita anemia.
Salah satu masalah utama yang berkaitan dengan keracunan pestisida adalah
bahwa gejala dan tanda keracunan khususnya pestisida dari golongan
organofosfat umumnya tidak spesifik bahkan cenderung menyerupai gejala
penyakit biasa seperti pusing, mual, dan lemah sehingga oleh masyarakat
dianggap sebagai suatu penyakit yang tidak memerlukan terapi khusus. 2
Pestisida organofosfat dan karbamat menimbulkan efek pada serangga,
mamalia dan manusia melalui inhibisi asetilkolinesterase pada saraf. vii
Pestisida organofosfat dan karbamat menghambat enzim asetilkolinesterase
(AChE) melalui proses fosforilasi bagian ester anion. Aktivitas AChE tetap
dihambat sampai enzim baru terbentuk kembali atau suatu reaktivator
kolinesterase diberikan. Penumpukan ACh yang terjadi akibat terhambatnya
enzim AChE inilah yang menimbulkan gejala-gejala keracunan
organofosfat.viii Gejala klinik baru akan timbul bila aktivitas kolinesterase 50%
dari normal atau lebih rendah. Akan tetapi gejala dan tanda keracunan
organofosfat juga tidak selamanya spesifik bahkan cenderung menyerupai
gejala penyakit biasa.ix
Salah satu dampak dari keracunan pestisida organofosfat dan karbamat
adalah anemia. Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin dalam
darah berkurang dari normal, yang berbeda untuk setiap jenis kelompok usia
dan jenis kelamin. x Tanda dan gejala yang sering timbul adalah gelisah,
diaforesis (keringat dingin), sesak nafas, kolaps sirkulasi yang prosesif cepat
atau syok.xi Kejadian keracunan akibat pestisida pada petani dapat dipengaruhi
oleh banyak faktor baik oleh faktor lingkungan maupun faktor perilaku petani
itu sendiri dalam setiap kontak dengan pestisida. Kejadian keracunan pestisida
dan anemia tidak memiliki tanda dan gejala yang spesifik. Deteksi dini
mengenai keracunan pestisida dan kejadian anemia sangat perlu dilakukan
untuk mencegah timbulnya gangguan kesehatan yang kronis dan mematikan.
Oleh karena itu untuk mengetahui faktor apa saja yang paling berpengaruh
terhadap keracunan akibat pestisida dan untuk mendeteksi dini adanya
keracunan pestisida pada petani hortikultura maka penulis berkeinginan untuk
melakukan penelitian mengenai ”Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Keracunan Pestisida Organofosfat, Karbamat dan Kejadian Anemia pada
Petani Hortikultura di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak Kabupaten
Magelang.
B. Rumusan Masalah
Penggunaan pestisida yang tidak sesuai dengan standar keamanan yang berlaku dapat menimbulkan keracunan pada petani. Prosedur penggunaan pestisida yang aman akan dapat mengurangi terjadinya keracunan akibat pestisida pada petani, misalnya menggunakan APD lengkap saat pengelolaan pestisida, lama waktu saat penyemprotan, dosis dan toksisitas pestisida yang digunakan. Salah satu efek kronis akibat keracunan pestisida adalah anemia. Pada anemia, karena semua sistem organ dapat terlibat, maka dapat menimbulkan manifestasi klinik yang luas. Manifestasi ini tergantung pada kecepatan timbulnya anemia, umur individu, mekanisme kompensasinya, tingkat aktifitasnya, keadaan penyakit yang mendasari dan parahnya anemia tersebut. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah . Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan keracunan pestisida organofosfat, karbamat dan kejadian anemia pada petani hortikultura di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang.

 Tujuan Penelitian
 1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan keracunan pestisida organofosfat, karbamat dan kejadian anemia pada petani hortikultura di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang .

 2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik (masa kerja dan status gizi) petani
    hortikultura di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak.
b. Mengidentifikasi praktek penggunaan pestisida (kelengkapan alat pelindung diri 
c. Mengidentifikasi suhu udara saat penyemprotan petani hortikultura di Desa
                Tejosari Kecamatan Ngablak.
d. Mengukur kadar kholinesterase dan Hb darah pada petani hortikultura di Desa
    Tejosari Kecamatan Ngablak.
e. Menganalisis hubungan antara masa kerja dengan keracunan pestisida organofosfat
    dan karbamat pada petani hortikultura di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak.
f. Menganalisis hubungan antara status gizi dengan keracunan pestisida organofosfat
   dan karbamat pada petani hortikultura di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak.



LANDASAN TEORI
 A. Pestisida
Secara harfiah, pestisida berarti pembunuh hama (pest: hama dan cide: membunuh). Dalam bidang pertanian banyak digunakan senyawa kimia, antara lain sebagai pupuk tanaman dan pestisida. xiii Berdasarkan SK Menteri Pertanian RI Noz434.1/Kpts/TP.270/7/2001, tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pestisida, yang dimaksud dengan pestisida adalah semua zat kimia atau bahan lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk beberapa tujuan berikut :
1.      Memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian.
2. Memberantas rerumputan.
3. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan.
4. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian
          tanaman (tetapi tidak termasuk golongan pupuk).
Mengingat peranannya yang sangat besar, perdagangan pestisida dewasa ini semakin ramai. Berdasarkan data pencatatan dari Badan Proteksi Lingkungan Amerika Serikat, saat ini lebih dari 2.600 bahan aktif pestisida yang telah beredar di pasaran. Sebanyak bahan aktif tersebut, 575 berupa herbisida, 610 berupa insektisida, 670 berupa fungisida dan nematisida,
125 berupa rodentisida dan 600 berupa disinfektan. Lebih dari 35 ribu formulasi telah dipasarkan di dunia. Di Indonesia, untuk keperluan perlindungan tanaman khususnya untuk pertanian dan kehutanan pada tahun 1986 tercatat 371 formulasi yang telah terdaftar dan diizinkan penggunaannya, dan 38 formulasi yang baru mengalami proses pendaftaran ulang. Sedangkan ada 215 bahan aktif yang telah terdaftar dan beredar di pasaran. Toksisitas atau daya racun adalah sifat bawaan pestisida yang menggambarkan potensi pestisida untuk menimbulkan kematian langsung (atau bahaya lainnya) pada hewan tingkat tinggi, termasuk manusia.

 B. Formulasi Pestisida
Bahan terpenting dalam pestisida yang bekerja aktif terhadap hama Sasaran disebut bahan aktif. Dalam pembuatan pestisida di pabrik, bahan aktif tersebut tidak dibuat secara murni (100%) tetapi bercampur sedikit dengan bahan-bahan pembawa lainnya. Produk jadi yang merupakan campuran fisik antara bahan aktif dan bahan tambahan yang tidak aktif dinamakan formulasi. Formulasi sangat menentukan bagaimana pestisida dengan bentuk dan komposisi tertentu harus digunakan, berapa dosis atau takaran yang harus digunakan, berapa frekuensi dan interval penggunaan, serta terhadap jasad sasaran apa pestisida dengan formulasi tersebut dapat digunakan secara efektif. Selain itu, formulasi pestisida juga menentukan aspek keamanan penggunaan pestisida dibuat dan diedarkan dalam banyak macam formulasi, sebagai berikut :  

 A. Formulasi Padat
                Wettable Powder (WP), merupakan sediaan bentuk tepung (ukuran partikel  beberapa  mikron) dengan kadar bahan aktif relatif tinggi (50 – 80%), yang jika dicampur dengan air akan membentuk suspensi. Pengaplikasian WP dengan disemprotkan.. Soluble Powder (SP), merupakan formulasi berbentuk tepung yang jika dicampur air akan membentuk larutan homogen.

 B. Formulasi Cair
            Emulsifiable Concentrate atau Emulsible Concentrate (EC), merupakan sediaan berbentuk pekatan (konsentrat) cair dengan kandungan bahan aktif yang cukup tinggi. Oleh karena menggunakan solvent berbasis minyak, konsentrat ini jika dicampur dengan air akan membentuk emulsi (butiran benda cair yang melayang dalam media cair lainnya). Bersama formulasi WP, formulasi EC merupakan formulasi klasik yang paling banyak digunakan saat ini.

 C. Dampak Penggunaan Pestisida
Pestisida merupakan bahan kimia, campuran bahan kimia, atau bahanbahan lain yang bersifat bioaktif. Pada dasarnya, pestisida itu bersifat racun. Oleh sebab sifatnya sebagai racun pestisida dibuat, dijual, dan digunakan untuk meracuni organisme pengganggu tanaman (OPT). Setiap racun berpotensi mengandung bahaya bagi makhluk hidup termasuk manusia. Oleh karena itu, ketidakbijaksanaan dalam penggunaan pestisida pertanian bisa
menimbulkan dampak negatif. Beberapa dampak negatif dari penggunaan pestisida antara lain :
1. Dampak bagi Keselamatan Pengguna  Penggunaan pestisida bisa mengkontaminasi pengguna secara langsung sehingga mengakibatkan keracunan. Dalam hal ini, keracunan bisa dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu, keracunan akut ringan, akut berat dan kronis. Keracunan akut ringan menimbulkan pusing, sakit kepala, iritasi kulit ringan, badan terasa sakit, dan diare. Keracunan akut berat menimbulkan gejala mual, menggigil, kejang perut,  sulit bernafas, keluar air liur, pupil mata mengecil, dan denyut nadi meningkat. Keracunan yang sangat berat dapat mengakibatkan pingsan, kejang-kejang, bahkan bisa mengakibatkan kematian. Keracunan kronis lebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa dan tidak menimbulkan gejala serta tanda yang spesifik. Namun, keracunan kronis dalam jangka waktu lama bisa menimbulkan gangguan kesehatan. Beberapa gangguan kesehatan yang sering dihubungkan dengan penggunaan pestisida diantaranya iritasi mata dan kulit, kanker, cacat pada bayi, serta gangguan saraf, hati, ginjal dan pernafasan.

2. Dampak bagi Konsumen
Dampak pestisida bagi konsumen umumnya berbentuk keracunan kronis yang tidak segera terasa. Namun, dalam jangka waktu lama mungkin bisa menimbulkan gangguan ke  ehatan. Meskipun sangat jarang, pestisida dapat pula menyebabkan keracunan akut, misalnya dalam hal konsumen mengkonsumsi produk pertanian yang mengandung residu dalam jumlah besar.

D. Pestisida Golongan Organofosfat
 Pestisida organofosfat ditemukan melalui sebuah riset di Jerman,
selama Perang Dunia II, dalam usaha menemukan senjata kimia untuk tujuan perang. Pada tahun 1937, G. Schrader menyusun struktur dasar organofosfat. Meskipun organofosfat pertama telah disintesis pada 1944, struktu dasar organofosfat baru dipublikasikan pada tahun 1948.16 Pestisida golongan organofosfat banyak digunakan karena sifat-sifatnya yang menguntungkan. Cara kerja golongan ini selektif, tidak persisten dalam tanah, dan tidak
menyebabkan resistensi pada serangga. Bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan juga racu  pernafasan. Dengan takaran yang rendah sudah memberikan efek yang memuaskan, selain kerjanya cepat dan mudah terurai.1Golongan organofosfat sering disebut dengan organic phosphates. Mereka adalah derivat dari phosphoric acid dan biasanya sangat toksik untuk hewan bertulang belakang. Golongan organofosfat struktur kimia dan cara kerjanya berhubungan erat dengan gas.
.






HASIL PENELITIAN
A. Keadaan Umum Desa Tejosari
 1. Kondisi Geografis Desa Tejosari
Desa Tejosari merupakan salah satu dari 16 desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Desa Tejosari terletak pada ketinggian 1.200 – 1.500 meter dari permukaan laut dengan kemiringan lahan sebesar 40%. Desa Tejosari terbagi menjadi 8 dusun yaitu : Dusun Tejosari, Derpowangsan, Gejayan, Pasengan, Klimahan, Lodosewu, Tawangsari dan Babrik.
Pekerjaan utama masyarakat di Desa Tejosari sebagai petani dengan luas lahan pertanian 273 Ha. Jumlah kelompok tani terbagi menjadi kelompok lanjut 1 kelompok, kelompok madya 2 kelompok dan kelompok utama 1 kelompok. Pada umumnya mereka bercocok tanam sayuran seperti kobis, kentang, wortel, tomat dan cabe, sedang pada musim tanam tembakau tiba mereka menanam tembakau dengan sistem tumpang sari.2 Penyemprotan pestisida umumnya dilakukan minimal setiap 7 hari sekali dan jika musim hujan tiba penyemprotan pestisida dapat dilakukan setiap 3 hari.
b. Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur
    Sebagian besar penduduk di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak Tahun 2008 berada pada usia antara 26 – 45 tahun yaitu sebesar 32,70% dan terkecil berada pada usia 0 – 5 tahun yaitu sebesar 9,51%.

c. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
    Tingkat pendidikan yang paling banyak dimiliki penduduk di Desa Tejosari adalah Sekolah Dasar dengan persentase sebesar 72,80% dan tingkat pendidikan yang paling sedikit adalah Diploma/PT yaitu sebesar 0,83%.

d. Pestisida dan Aplikasinya
    Berdasarkan hasil pengamatan, beberapa pestisida yang sering digunakan oleh petani di Desa Tejosari antara lain : Dursband 200 EC, Lannate 25 WP, Proclaim 5 SG, Daconil 75 WP, Antracol 70 WP, Kurakron 50 EC, Matador 25 EC, Revaton 50 EC, Manzep 80 WP, Traser 120 EC, Propile 430 EC dan Rizotin 100 EC. Selain menggunakan pestisida, petani juga menggunakan beberapa bahan penyubur tanaman antara lain : Xentari, Gandasil, Pantas, Supergrow, Vitagrow, Antonik dan Progip.


 2.Kelengkapan Alat Pelindung Diri Saat Penyemprotan
Penggunaan APD saat penyemprotan sangat berpengaruh terhadap jumlah masuknya partikel pestisida ke dalam tubuh petani. Alat pelindung yang wajib digunakan petani antara lain : penutup kepala/topi, kacamata, masker, baju lengan panjang, sarung tangan, celana panjang dan sepatu bot. Penggunaan APD dikatakan lengkap jika petani menggunakan
alat ≥ 5, sedangkan jika petani menggunakan alat < 5 saat penyemprotan maka dikategorikan tidak lengkap.

 3.Lama Waktu Penyemprotan
Lama waktu pemaparan pestisida terhadap petani juga memiliki pengaruh yang besar terhadap kemungkinan masuknya pestisida ke dalam tubuh petani. Lama waktu penyemprotan dikategorikan baik jika < 3 jam dan buruk jika ≥ 3 jam setiap kali penyemprotan.

 4. Praktek Pengelolaan Pestisida
Praktek pengelolaan pestisida diukur dengan menilai setiap tindakan yang dilakukan petani terhadap pestisida maupun kemasannya. Praktek pengelolaan pestisida dikategorikan baik jika nilai skor berdasarkan pengamatan dan menjawab pertanyaan dengan benar ≥ 10 dan buruk jika menjawab pertanyaan benar < 10.
 6. Toksisitas Pestisida
Bahan aktif yang terkandung dalam pestisida mempunyai daya toksisitas yang berbeda-beda. Setiap bahan aktif memiliki nilai LD50 yang berbeda. Toksisitas pestisida dibedakan menjadi toksisitas tinggi, sedang, dan rendah. Pestisida digolongkan menjadi toksisitas tinggi jika LD50 berbentuk padat <50 mg/kg dan cair <200 mg/kg, toksisitas   sedang jika LD50 berbentuk padat 50 – 500 mg/kg dan cair 200 – 200 mg/kg dan toksisitas rendah jika LD50 berbentuk padat >50 mg/kg dan cair >2000 mg/kg. Toksisitas Pestisida Frekuensi Persentase Toksisitas Tinggi 27 34,6 Toksisitas Sedang 44 56,4 Toksisitas Rendah 7 9,0 Total 78 100,0 Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 27 responden (34,6%) menggunakan pestisida yang memiliki toksisitas tinggi, 44 responden (56,4%) menggunakan pestisida yang memiliki toksisitas sedang dan 7 responden (9%) menggunakan pestisida yang memiliki toksisitas rendah.



PEMBAHASAN
Penggunaan pestisida pada petani seringkali menimbulkan gangguan kesehatan baik terhadap petani itu sendiri maupun masyarakat yang ikut mengkonsumsi hasil pertanian tersebut. Penggunaan pestisida terbesar adalah pada pertanian hortikultura. Hortikultura berasal dari bahasa Latin hortus (tanaman kebun) dan cultura (budidaya), dan dapat diartikan sebagai budidaya tanaman kebun. Bidang kerja hortikultura meliputi pembenihan, pembibitan, kultur jaringan, pemanenan, pengemasan dan pengiriman. Berbeda dengan agronomi, hortikultura hanya mengolah tanaman buah, bunga, sayuran, dan obatobatan. Xl Penelitian ini dilakukan pada petani hortikultura di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang tahun 2008 dan didapatkan bahwa sebanyak 75 petani (96,15%) mengalami keracunan akibat pestisida dan 63 petani (80,8%) menderita anemia. Kejadian keracunan akibat pestisida dan anemia pada petani di Desa Tejosari dapat dipengaruhi oleh banyak sekali faktor, baik lingkungan maupun dari perilaku petani itu sendiri. Hasil analisis dengan uji Chi-square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kelengkapan APD saat penyemprotan dengan kejadian keracunan pada petani hortikultura (p-Value = 0,355). Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Xiang et al. (2000) bahwa penggunaan APD selama aplikasi terhadap pestisida mempunyai hubungan yang bermakna terhadap kejadian keracunan (p-Value = 0,001; OR = 0,8; 95% CI = 0,6 – 1,07).xli Penelitian tentang penggunaan APD yang dilakukan oleh Fatmawati (2006) menunjukkan bahwa penggunaan APD secara lengkap mempunyai pengaruh secara bermakna terhadap kadar kolinesterase darah responden. John H.R. et al. (1999) menyatakan bahwa salah satu faktor utama dalam keterpaparan seseorang terhadap pestisida adalah penggunaan APD.Satu hal yang sering dilupakan oleh petani (di negara tropis), umumnya adalah contact poison. Oleh sebab itu, route of entry melalui kulit sangat efektif. Apalagi kalau ada kelainan pada kulit dan/atau bersama keringat, penyerapan pestisida melalui kulit akan lebih efektif. Kejadian kontaminasi pestisida melalui kulit merupakan kontaminasi yang paling sering terjadi, meskipun tidak seluruhnya berakhir dengan keracunan akut. Lebih dari 90% kasus keracunan diseluruh dunia disebabkan oleh kontaminasi lewat kulit. Keracunan karena partikel pestisida atau butiran semprot terhisap melalui hidung merupakan kasus terbanyak nomor dua setelah kontaminasi kulit. Pada penelitian ini, kontaminasi pestisida lebih banyak melalui kulit tangan, pernafasan dan mata. Hal ini terlihat dari data yang menunjukkan jumlah petani yang tidak menggunakan sarung tangan pada penelitian ini sebanyak 73 orang (93,6%), tidak menggunakan masker sebanyak 46 orang (59%) dan tidak
menggunakan pelindung mata sebanyak 78 orang (100%). Penelitian yang dilakukan oleh Vreede et al. (1998) menunjukkan bahwa petani yang tidak menggunakan alat pelindung diri saat kontak dengan pestisida mempunyai paparan pestisida terbesar melalui tangan terutama saat pencampuran pestisida dengan paparan sebesar 103,53 μg/jam dan diikuti oleh paparan melalui pernafasan yaitu sebesar 11,6 μg/jam. xlii Tidak adanya hubungan antara kelengkapan APD dengan kejadian keracunan dapat disebabkan karena pada saat penelitian dilakukan, petani sedang memasuki masa tanam tembakau dimana penyemprotan pestisida sangat jarang dilakukan. Musim kemarau yang sedang berlangsung saat penelitian juga menyebabkan penyemprotan pestisida menjadi sangat jarang dilakukan sehingga mempengaruhi tingkat keracunan terhadap petani hortikultura. Beberapa penelitian menyatakan bahwa masa kerja sebagai petani merupakan faktor risiko terjadinya keracunan akibat pestisida pada petani. Tetapi pada penelitian ini hasil analisis statistik bivariat menggunakan uji Chi-square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian keracunan pada petani (p-Value = 0,953). Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kesavachandran et al. (2006) yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan keracunan akibat pestisida yang signifikan antara petani dengan masa kerja < 5 tahun dan ≥ 5 tahun (OR = 6,30; 95% CI = 1,3 – 47,3).xliii Lama kerja sebagai petani penyemprot tidak berpengaruh terhadap kejadian keracunan karena penggunaan pestisida dalam waktu yang singkat telah dapat menimbulkan keracunan pada petani. Gejala keracunan kronik organofosfat timbul akibat penghambatan kolinesterase dan akan menetap selama 2 – 6 minggu, menyerupai keracunan akut ringan. Tetapi bila terpapar lagi dalam jumlah kecil dapat timbul gejala yang berat. Untuk golongan karbamat, ikatan kolinesterase akan bersifat sementara dan akan terlepas kembali dalam beberapa jam (reversibel), sehingga tidak akan timbul keracunan kronik.23 Hal ini berarti bahwa kejadian keracunan pada petani tidak dipengaruhi oleh masa kerja sebagai petani tetapi dipengaruhi oleh intensitas paparan yang terjadi serta rentang waktu penggunaan pestisida. Jika petani berhenti menggunakan pestisida dalam waktu yang lama, maka keracunan akibat pestisida akan hilang dengan sendirinya, karena ikatan pestisida di dalam darah akan terlepas kembali. Penelitian yang dilakukan pada bulan Agustus juga mempengaruhi kejadian keracunan pada petani di Desa Tejosari. Pada bulan Agustus, petani melakukan penanaman tembakau dimana penggunaan pestisida pada saat penanaman tembakau sangat jarang dilakukan yaitu minimal seminggu sekali. Hal ini juga didukung dengan musim kemarau yang menyebabkan residu pestisida tidak akan hilang bersama air hujan. Penggunaan pestisida yang jarang pada musim tanam tembakau menyebabkan hubungan antara masa kerja dengan kejadian keracunan pestisida menjadi tidak signifikan. Hasil analisis statistik bivariat menggunakan uji Chi-square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara lama waktu saat penyemprotan dengan kejadian keracunan pada petani (p-Value = 0,622). Hal ini disebabkan karena pada penelitian ini lama saat penyemprotan petani masih dalam batas yang aman yaitu 1 – 3 jam sehingga keracunan akibat pestisida dapat diminimalisir. Prabu (2008) menyatakan bahwa gejala keracunan pestisida organofosfat dan karbamat biasanya timbul setelah 4 jam kontak, tetapi bisa timbul setelah 12 jam.xliv Hasil penelitian pada petani di Desa Tejosari menunjukkan bahwa ratarata responden melakukan penyemprotan selama 2 jam dan sebanyak 76 responden (97,4%) melakukan penyemprotan < 4 jam dalam setiap praktek penyemprotan. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Atmojo (1991) yang menyatakan bahwa semakin lama seorang petani penyemprot bekerja dalam sehari, semakin tinggi risiko untuk terjadi keracunan (OR = 3,630). Penelitian yang dilakukan oleh Tugiyo (2003) menyatakan bahwa tenaga penyemprot yang mempunyai jam kerja > 5 jam mempunyai resiko keracunan pestisida lebih besar daripada tenaga penyemprot yang mempunyai jam kerja ≤ 5 jam (OR = 5,22).xlv Lama waktu saat penyempotan merupakan hal yang harus diwaspadai karena semakin lama petani kontak dengan pestisida maka akan semakin besar kemungkinan petani mengalami keracunan apalagi jika diiringi dengan waktu penyemprotan. Penyemprotan pada siang hari dengan suhu yang tinggi akan menambah peluang terjadinya keracunan karena suhu yang tinggi akan menyebabkan metabolisme di dalam tubuh meningkat dan penyerapan pestisida ke dalam tubuh menjadi semakin besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu lingkungan saat penyemprotan memiliki data yang homogen yaitu tergolong baik (19 – 23oC) sehingga tidak dapat dilakukan analisis dengan menggunakan uji Chi-square. Suhu lingkungan yang buruk bagi petani penyemprot pestisida adalah jika lebih tinggi dari suhu tubuh manusia yaitu 27oC. Jika suhu lingkungan tinggi, maka suhu tubuh pun akan meningkat.38 Suhu badan yang tinggi akan menyebabkan vasodilasi yaitu pembuluh darah mengembang untuk berdekatan dengan kulit (lingkungan luar) yang memungkinkan panas dibebaskan keluar, lebih banyak darah pada kulit untuk memudahkan panas darah terbebas keluar melalui proes penyinaran dan berpeluh, air keringat yang dirembes oleh kelenjar keringat mempunyai panas tertentu sehingga dapat menyerap pana  yang tinggi dan terbebas ke lingkungan sekitar apabila air keringat menguap. xlvi Selain itu, meningkatnya suhu tubuh juga dapat meningkatkan metabolisme rate dengan setiap peningkatan 1% suhu tubuh inti akan meningkatkan kecepatan reaksi biokimia 10%. Hal ini mendukung dugaan bahwa suhu lingkungan yang tinggi pada saat penyemprotan akan menyebabkan proses kontaminasi yang lebih besarterutama melalui kulit. Mekonnen dan Agonafir (2002) menyatakan bahwa pengelolaan pestisida yang baik merupakan cara yang paling penting dalam mencegah keracunan akibat pestisida, antara lain menghindari cuaca yang panas dan berangin saat penyemprotan, penggunaan alat pelindung diri secara lengkap dan benar, praktek pencampuran dan penuangan pestisida pada sprayer.xlvii Hasil analisis statistik bivariat menggunakan uji Chi-square pada penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara praktek pengelolaan pestisida dengan kejadian keracunan pada petani (p-Value = 0,316). Hal ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Prihadi (2007) yang menyatakan bahwa petani yang praktek penanganan pestisida buruk mempunyai resiko 17 kali lebih besar terkena keracunan pestisida dibandingkan petani yang baik dalam praktek penanganan pestisida.  Umumnya, kasus keracunan di kalangan petani terjadi karena beberapa hal. Pengaplikasian pestisida, terutama penyemprotan merupakan pekerjaan yang paling mudah dan paling sering menimbulkan kontaminasi kulit. Kontaminasi juga sering terjadi karena menyeka wajah dengan tangan, lengan baju, atau sarung tangan yang terkontaminasi. Petani tidak memiliki informasi yang benar dan akurat tentang pestisida, resiko penggunaan, serta teknik penggunaan atau aplikasi pestisida yang benar dan bijaksana. Biasanya petani cenderung menganggap ringan bahaya pestisida sehingga tidak mematuhi syarat-syarat keselamatan dalam menggunakan pestisida. Keracunan pestisida, terutama keracunan kronis, sering tidak terasa dan akibatnya sulit diramalkan. Oleh karena itu, kebanyakan petani akan mengatakan bahwa mereka sudah belasan tahun mengaplikasikan pestisida dengan cara mereka dan tidak merasa terganggu.16 Padahal justru anggapan praktek pengelolaan pestisida yang dilakukan oleh petani di Indonesia saat ini sangat berbahaya bagi diri mereka maupun lingkungan hidup di sekitarnya. Tidak adanya hubungan antara pengelolaan pestisida dengan kejadian keracunan pestsida pada petani dapat disebabkan oleh status gizi yang dimiliki oleh responden penelitian. Status gizi yang baik (91,03%) membantu daya tahan tubuh petani sehingga dapat mengurangi kejadian keracunan akibat pestisida. Dampak kesehatan akibat pestisida juga tergantung pada kandungan bahan kimia (berbahaya) di dalam pestisida dan level pemaparan. Evaluasi dampak pestisida didasarkan pada eksperimen terhadap manusia dan hewan uji dimana keracunan akut, subakut, semi-kronis dan kronis ditentukan bersamaan dengan efek pada kulit (iritasi dan sentisivitas kulit), kandungan teratogenik dan karsinogenik serta pengaruhnya terhadap reproduksi.42 Toksisitas pestisida ditentukan berdasarkan LD50 dan jenis formulasi dari bahan aktif yang terkandung dalam pestisida. Hasil analisis statistik bivariat menggunakan uji Chi-squaremenunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat toksisitas pestisida dengan kejadian keracunan pestisida organofosfat dan karbamat (p-Value = 0,307).
KESIMPULAN
            Pestisida merupakan campuran yang husus di gunakan untuk mengendalikan mencegah dan menangkus gangguan serangga, binatang pengerat nematoda yang di anggap hama. Pestisida merupakan semua zat atau campuran zat yang di gunakan untuk mengatur pertumbuhan atau untuk meringankan tanaman. pada penelitian ini yang paling berpengaruh terhadap kejadian anemia adalah status gizi. Sehingga di perlukan adanya pemberian suplemen penambah zat besi agar petani terhindar dari anemia.

















KRITIKAN
 Judul : Faktor –Faktor Yang Berhubungan Dengan Keracunan Pestisida Organofosfat, Karbamat Dan Kejadian Anemia Pada Petani Hortikultura di Desa Terjosari Kec. Ngablak  Kabupaten Magelang.
Kritik : pada penelitian ini penulis sangat mengharapkan agar Tesis ini bisa memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik lagi dan tepat sasaran sehingga dampak negatif dari penggunaan pestisida organofosfat dan karbamat dapat di minimalisir. 
Kritik : Penelitian ini sudah jelas karena penulis sudah menerapkan cara untuk mengatasi penggunaan pestisida yang berlebihan sehingga tidak berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat.




No comments:

Post a Comment

Tampilan arsip Teratas

PSEA (Protection from Sexual Exploitation and Abuse)

PERKENALAN PSEA (Protection from Sexual Exploitation and Abuse) Dalam semua konteks di mana lembaga atau organisasi pembangunan dan/atau ban...