Ringkasan Penelitian
FAKTOR-FAKTOR
YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KERACUNAN
PESTISIDA ORGANOFOSFAT,
KARBAMAT
DAN KEJADIAN ANEMIA PADA
PETANI
HORTIKULTURA DI DESA TEJOSARI
KECAMATAN NGABLAK KABUPATEN MAGELANG
Dikutip dari hasil Karya Tulis Ilmiah
Yodenca Assti Runia
Disusun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah
Hyiegene Perusahaan :
Nama :
VERONALIA (311.13.031)
Fakultas Kesehatan
Masyarakat
Universitas Nusa Tenggara
Barat
2015
A. Latar Belakang
Iklim tropis di Indonesia
menyebabkan Indonesia memiliki tanah yang subur dan cocok untuk ditanami
berbagai macam jenis tanaman. Dalam upaya
meningkatkan mutu dan produktivitas hasil pertanian, penggunaan
pestisida
untuk membasmi hama tanaman sering tak terhindarkan. Pestisida
yang
digunakan diharapkan dapat membantu petani dalam mendapatkan
keuntungan
yang maksimal. i Penggunaan pestisida secara berlebihan dan tidak
terkendali
seringkali memberikan risiko keracunan pestisida bagi petani.
Risiko
keracunan pestisida ini terjadi karena penggunaan pestisida pada
lahan
pertanian khususnya sayuran. ii
Penggunaan pestisida dengan dosis besar dan dilakukan secara terus
menerus akan menimbulkan beberapa kerugian, antara lain residu
pestisida
akan terakumulasi pada produk-produk pertanian, pencemaran pada
lingkungan pertanian, penurunan produktivitas, keracunan pada
hewan,
keracunan pada manusia yang berdampak buruk terhadap kesehatan.
Manusia
akan mengalami keracunan baik akut maupun kronis yang berdampak
pada
kematian.
Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) memperkirakan setiap tahun
terjadi 1 – 5 juta kasus keracunan pestisida pada pekerja
pertanian dengan
tingkat kematian mencapai 220.000 korban jiwa. iv Sekitar 80%
keracunan
dilaporkan terjadi di negara-negara sedang berkembang.v
Pada tahun 2006 di Kabupaten Magelang telah dilaksanakan
pemeriksaan aktivitas kholinesterase pada petani yang berlokasi di
7 kecamatan dengan jumlah petani yang diperiksa sebanyak 550 orang
dan
menunjukkan 99,8% keracunan dengan rincian : keracunan berat
18,2%;
keracunan sedang 72,73%; keracunan ringan 8,9% dan normal 0,18%.
Hasil
penelitian di Kecamatan Ngablak jumlah petani yang diperiksa 50
orang
menunjukkan 98% mengalami keracunan dengan rincian : keracunan
berat
16%, keracunan sedang 48% dan keracunan ringan 34%.vi
Penelitian yang dilakukan oleh Prihadi pada tahun 2007 menunjukkan
bahwa sebesar 76,47 % petani di Desa Sumberejo Kecamatan Ngablak
mengalami keracunan akibat pestisida dan 60,29% petani menderita
anemia.
Salah satu masalah utama yang berkaitan dengan keracunan pestisida
adalah
bahwa gejala dan tanda keracunan khususnya pestisida dari golongan
organofosfat umumnya tidak spesifik bahkan cenderung menyerupai
gejala
penyakit biasa seperti pusing, mual, dan lemah sehingga oleh
masyarakat
dianggap sebagai suatu penyakit yang tidak memerlukan terapi
khusus. 2
Pestisida organofosfat dan karbamat menimbulkan efek pada
serangga,
mamalia dan manusia melalui inhibisi asetilkolinesterase pada
saraf. vii
Pestisida organofosfat dan karbamat menghambat enzim
asetilkolinesterase
(AChE) melalui proses fosforilasi bagian ester anion. Aktivitas
AChE tetap
dihambat sampai enzim baru terbentuk kembali atau suatu
reaktivator
kolinesterase diberikan. Penumpukan ACh yang terjadi akibat
terhambatnya
enzim AChE inilah yang menimbulkan gejala-gejala keracunan
organofosfat.viii Gejala klinik baru akan timbul bila aktivitas
kolinesterase 50%
dari normal atau lebih rendah. Akan tetapi gejala dan tanda
keracunan
organofosfat juga tidak selamanya spesifik bahkan cenderung
menyerupai
gejala penyakit biasa.ix
Salah satu dampak dari keracunan pestisida organofosfat dan
karbamat
adalah anemia. Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin
dalam
darah berkurang dari normal, yang berbeda untuk setiap jenis
kelompok usia
dan jenis kelamin. x Tanda dan gejala yang sering timbul adalah
gelisah,
diaforesis (keringat dingin), sesak nafas, kolaps sirkulasi yang
prosesif cepat
atau syok.xi Kejadian keracunan akibat pestisida pada petani dapat
dipengaruhi
oleh banyak faktor baik oleh faktor lingkungan maupun faktor
perilaku petani
itu sendiri dalam setiap kontak dengan pestisida. Kejadian
keracunan pestisida
dan anemia tidak memiliki tanda dan gejala yang spesifik. Deteksi
dini
mengenai keracunan pestisida dan kejadian anemia sangat perlu
dilakukan
untuk mencegah timbulnya gangguan kesehatan yang kronis dan
mematikan.
Oleh karena itu untuk mengetahui faktor apa saja yang paling
berpengaruh
terhadap keracunan akibat pestisida dan untuk mendeteksi dini
adanya
keracunan pestisida pada petani hortikultura maka penulis berkeinginan
untuk
melakukan penelitian mengenai ”Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan
Keracunan Pestisida Organofosfat, Karbamat dan Kejadian Anemia
pada
Petani Hortikultura di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak Kabupaten
Magelang.
B. Rumusan Masalah
Penggunaan pestisida yang
tidak sesuai dengan standar keamanan yang berlaku dapat menimbulkan keracunan
pada petani. Prosedur penggunaan pestisida yang aman akan dapat mengurangi
terjadinya keracunan akibat pestisida pada petani, misalnya menggunakan APD lengkap
saat pengelolaan pestisida, lama waktu saat penyemprotan, dosis dan toksisitas
pestisida yang digunakan. Salah satu efek kronis akibat keracunan pestisida
adalah anemia. Pada anemia, karena semua sistem organ dapat terlibat, maka
dapat menimbulkan manifestasi klinik yang luas. Manifestasi ini tergantung pada
kecepatan timbulnya anemia, umur individu, mekanisme kompensasinya, tingkat
aktifitasnya, keadaan penyakit yang mendasari dan parahnya anemia tersebut. Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah . Faktor-faktor apa saja yang
berhubungan dengan keracunan pestisida organofosfat, karbamat dan kejadian
anemia pada petani hortikultura di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang.
Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan keracunan pestisida organofosfat, karbamat dan kejadian
anemia pada petani hortikultura di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak Kabupaten
Magelang .
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi
karakteristik (masa kerja dan status gizi) petani
hortikultura di Desa Tejosari Kecamatan
Ngablak.
b.
Mengidentifikasi praktek penggunaan pestisida (kelengkapan alat pelindung
diri
c.
Mengidentifikasi suhu udara saat penyemprotan petani hortikultura di Desa
Tejosari Kecamatan Ngablak.
d.
Mengukur kadar kholinesterase dan Hb darah pada petani hortikultura di Desa
Tejosari Kecamatan Ngablak.
e.
Menganalisis hubungan antara masa kerja dengan keracunan pestisida organofosfat
dan
karbamat pada petani hortikultura di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak.
f.
Menganalisis hubungan antara status gizi dengan keracunan pestisida organofosfat
dan
karbamat pada petani hortikultura di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak.
LANDASAN TEORI
A. Pestisida
Secara harfiah, pestisida
berarti pembunuh hama (pest: hama dan cide: membunuh). Dalam
bidang pertanian banyak digunakan senyawa kimia, antara lain sebagai pupuk tanaman
dan pestisida. xiii Berdasarkan SK Menteri Pertanian RI Noz434.1/Kpts/TP.270/7/2001,
tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pestisida, yang dimaksud dengan
pestisida adalah semua zat kimia atau bahan lain serta jasad renik dan virus yang
digunakan untuk beberapa tujuan berikut :
1.
Memberantas
atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian tanaman atau
hasil-hasil pertanian.
2. Memberantas rerumputan.
3. Mematikan daun dan mencegah
pertumbuhan yang tidak diinginkan.
4.
Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian
tanaman (tetapi
tidak termasuk golongan pupuk).
Mengingat peranannya yang
sangat besar, perdagangan pestisida dewasa ini semakin ramai. Berdasarkan data
pencatatan dari Badan Proteksi Lingkungan Amerika Serikat, saat ini lebih dari
2.600 bahan aktif pestisida yang telah beredar di pasaran. Sebanyak bahan aktif
tersebut, 575 berupa herbisida, 610 berupa insektisida, 670 berupa fungisida
dan nematisida,
125 berupa rodentisida dan 600 berupa disinfektan. Lebih dari 35
ribu formulasi telah dipasarkan di dunia. Di Indonesia, untuk keperluan perlindungan
tanaman khususnya untuk pertanian dan kehutanan pada tahun 1986 tercatat 371
formulasi yang telah terdaftar dan diizinkan penggunaannya, dan 38 formulasi
yang baru mengalami proses pendaftaran ulang. Sedangkan ada 215 bahan aktif
yang telah terdaftar dan beredar di pasaran. Toksisitas atau daya racun adalah
sifat bawaan pestisida yang menggambarkan potensi pestisida untuk menimbulkan
kematian langsung (atau bahaya lainnya) pada hewan tingkat tinggi, termasuk
manusia.
B. Formulasi Pestisida
Bahan terpenting dalam
pestisida yang bekerja aktif terhadap hama Sasaran disebut bahan aktif. Dalam
pembuatan pestisida di pabrik, bahan aktif tersebut tidak dibuat secara murni
(100%) tetapi bercampur sedikit dengan bahan-bahan pembawa lainnya. Produk jadi
yang merupakan campuran fisik antara bahan aktif dan bahan tambahan yang tidak
aktif dinamakan formulasi. Formulasi sangat menentukan bagaimana pestisida
dengan bentuk dan komposisi tertentu harus digunakan, berapa dosis atau takaran
yang harus digunakan, berapa frekuensi dan interval penggunaan, serta terhadap
jasad sasaran apa pestisida dengan formulasi tersebut dapat digunakan secara
efektif. Selain itu, formulasi pestisida juga menentukan aspek keamanan
penggunaan pestisida dibuat dan diedarkan dalam banyak macam formulasi, sebagai
berikut :
A. Formulasi Padat
Wettable Powder (WP), merupakan sediaan
bentuk tepung (ukuran partikel beberapa mikron) dengan kadar bahan aktif relatif
tinggi (50 – 80%), yang jika dicampur dengan air akan membentuk suspensi.
Pengaplikasian WP dengan disemprotkan.. Soluble Powder (SP), merupakan
formulasi berbentuk tepung yang jika dicampur air akan membentuk larutan
homogen.
B. Formulasi Cair
Emulsifiable Concentrate atau Emulsible
Concentrate (EC), merupakan sediaan berbentuk pekatan (konsentrat) cair
dengan kandungan bahan aktif yang cukup tinggi. Oleh karena menggunakan solvent
berbasis minyak, konsentrat ini jika dicampur dengan air akan membentuk emulsi
(butiran benda cair yang melayang dalam media cair lainnya). Bersama formulasi
WP, formulasi EC merupakan formulasi klasik yang paling banyak digunakan saat
ini.
C. Dampak Penggunaan
Pestisida
Pestisida merupakan bahan
kimia, campuran bahan kimia, atau bahanbahan lain yang bersifat bioaktif. Pada
dasarnya, pestisida itu bersifat racun. Oleh sebab sifatnya sebagai racun
pestisida dibuat, dijual, dan digunakan untuk meracuni organisme pengganggu
tanaman (OPT). Setiap racun berpotensi mengandung bahaya bagi makhluk hidup
termasuk manusia. Oleh karena itu, ketidakbijaksanaan dalam penggunaan
pestisida pertanian bisa
menimbulkan dampak negatif. Beberapa dampak negatif dari
penggunaan pestisida antara lain :
1. Dampak bagi Keselamatan
Pengguna Penggunaan pestisida bisa
mengkontaminasi pengguna secara langsung sehingga mengakibatkan keracunan.
Dalam hal ini, keracunan bisa dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu, keracunan
akut ringan, akut berat dan kronis. Keracunan akut ringan menimbulkan pusing,
sakit kepala, iritasi kulit ringan, badan terasa sakit, dan diare. Keracunan
akut berat menimbulkan gejala mual, menggigil, kejang perut, sulit bernafas, keluar air liur, pupil mata
mengecil, dan denyut nadi meningkat. Keracunan yang sangat berat dapat
mengakibatkan pingsan, kejang-kejang, bahkan bisa mengakibatkan kematian. Keracunan
kronis lebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa dan tidak menimbulkan gejala
serta tanda yang spesifik. Namun, keracunan kronis dalam jangka waktu lama bisa
menimbulkan gangguan kesehatan. Beberapa gangguan kesehatan yang sering dihubungkan
dengan penggunaan pestisida diantaranya iritasi mata dan kulit, kanker, cacat pada
bayi, serta gangguan saraf, hati, ginjal dan pernafasan.
2. Dampak bagi Konsumen
Dampak pestisida bagi konsumen
umumnya berbentuk keracunan kronis yang tidak segera terasa. Namun, dalam
jangka waktu lama mungkin bisa menimbulkan gangguan ke ehatan. Meskipun sangat jarang, pestisida dapat
pula menyebabkan keracunan akut, misalnya dalam hal konsumen mengkonsumsi
produk pertanian yang mengandung residu dalam jumlah besar.
D. Pestisida Golongan
Organofosfat
Pestisida organofosfat
ditemukan melalui sebuah riset di Jerman,
selama Perang Dunia II, dalam usaha menemukan senjata kimia untuk
tujuan perang. Pada tahun 1937, G. Schrader menyusun struktur dasar
organofosfat. Meskipun organofosfat pertama telah disintesis pada 1944, struktu
dasar organofosfat baru dipublikasikan pada tahun 1948.16 Pestisida golongan organofosfat
banyak digunakan karena sifat-sifatnya yang menguntungkan. Cara kerja golongan
ini selektif, tidak persisten dalam tanah, dan tidak
menyebabkan resistensi pada serangga. Bekerja sebagai racun
kontak, racun perut, dan juga racu pernafasan. Dengan takaran yang rendah sudah memberikan
efek yang memuaskan, selain kerjanya cepat dan mudah terurai.1Golongan
organofosfat sering disebut dengan organic phosphates. Mereka adalah
derivat dari phosphoric acid dan biasanya sangat toksik untuk hewan
bertulang belakang. Golongan organofosfat struktur kimia dan cara kerjanya berhubungan
erat dengan gas.
.
HASIL PENELITIAN
A. Keadaan Umum Desa Tejosari
1. Kondisi Geografis Desa
Tejosari
Desa Tejosari merupakan salah
satu dari 16 desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Ngablak Kabupaten
Magelang. Desa Tejosari terletak pada ketinggian 1.200 – 1.500 meter dari
permukaan laut dengan kemiringan lahan sebesar 40%. Desa Tejosari terbagi
menjadi 8 dusun yaitu : Dusun Tejosari, Derpowangsan, Gejayan, Pasengan,
Klimahan, Lodosewu, Tawangsari dan Babrik.
Pekerjaan utama masyarakat di Desa Tejosari sebagai petani dengan
luas lahan pertanian 273 Ha. Jumlah kelompok tani terbagi menjadi kelompok lanjut
1 kelompok, kelompok madya 2 kelompok dan kelompok utama 1 kelompok. Pada
umumnya mereka bercocok tanam sayuran seperti kobis, kentang, wortel, tomat dan
cabe, sedang pada musim tanam tembakau tiba mereka menanam tembakau dengan
sistem tumpang sari.2 Penyemprotan pestisida umumnya dilakukan minimal setiap 7
hari sekali dan jika musim hujan tiba penyemprotan pestisida dapat dilakukan
setiap 3 hari.
b. Jumlah Penduduk Berdasarkan
Umur
Sebagian besar penduduk di Desa Tejosari
Kecamatan Ngablak Tahun 2008 berada pada usia antara 26 – 45 tahun yaitu sebesar
32,70% dan terkecil berada pada usia 0 – 5 tahun yaitu sebesar 9,51%.
c. Jumlah Penduduk Berdasarkan
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan yang paling banyak
dimiliki penduduk di Desa Tejosari adalah Sekolah Dasar dengan persentase
sebesar 72,80% dan tingkat pendidikan yang paling sedikit adalah Diploma/PT
yaitu sebesar 0,83%.
d. Pestisida dan Aplikasinya
Berdasarkan hasil pengamatan, beberapa
pestisida yang sering digunakan oleh petani di Desa Tejosari antara lain : Dursband
200 EC, Lannate 25 WP, Proclaim 5 SG, Daconil 75 WP, Antracol 70 WP,
Kurakron 50 EC, Matador 25 EC, Revaton 50 EC, Manzep 80 WP, Traser 120 EC, Propile
430 EC dan Rizotin 100 EC. Selain menggunakan pestisida, petani juga
menggunakan beberapa bahan penyubur tanaman antara lain : Xentari, Gandasil,
Pantas, Supergrow, Vitagrow, Antonik dan Progip.
2.Kelengkapan Alat
Pelindung Diri Saat Penyemprotan
Penggunaan APD saat
penyemprotan sangat berpengaruh terhadap jumlah masuknya partikel pestisida ke
dalam tubuh petani. Alat pelindung yang wajib digunakan petani antara lain :
penutup kepala/topi, kacamata, masker, baju lengan panjang, sarung tangan,
celana panjang dan sepatu bot. Penggunaan APD dikatakan lengkap jika petani
menggunakan
alat ≥ 5, sedangkan jika petani menggunakan alat < 5 saat
penyemprotan maka dikategorikan tidak lengkap.
3.Lama Waktu Penyemprotan
Lama waktu pemaparan pestisida
terhadap petani juga memiliki pengaruh yang besar terhadap kemungkinan masuknya
pestisida ke dalam tubuh petani. Lama waktu penyemprotan dikategorikan baik
jika < 3 jam dan buruk jika ≥ 3 jam setiap kali penyemprotan.
4. Praktek Pengelolaan
Pestisida
Praktek pengelolaan pestisida
diukur dengan menilai setiap tindakan yang dilakukan petani terhadap pestisida
maupun kemasannya. Praktek pengelolaan pestisida dikategorikan baik jika nilai
skor berdasarkan pengamatan dan menjawab pertanyaan dengan benar ≥ 10 dan buruk
jika menjawab pertanyaan benar < 10.
6. Toksisitas Pestisida
Bahan aktif yang terkandung
dalam pestisida mempunyai daya toksisitas yang berbeda-beda. Setiap bahan aktif
memiliki nilai LD50 yang berbeda. Toksisitas pestisida dibedakan menjadi
toksisitas tinggi, sedang, dan rendah. Pestisida digolongkan menjadi toksisitas
tinggi jika LD50 berbentuk padat <50 mg/kg dan cair <200 mg/kg,
toksisitas sedang jika LD50 berbentuk
padat 50 – 500 mg/kg dan cair 200 – 200 mg/kg dan toksisitas rendah jika LD50
berbentuk padat >50 mg/kg dan cair >2000 mg/kg. Toksisitas Pestisida Frekuensi
Persentase Toksisitas Tinggi 27 34,6 Toksisitas Sedang 44 56,4 Toksisitas Rendah
7 9,0 Total 78 100,0 Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa
sebanyak 27 responden (34,6%) menggunakan pestisida yang memiliki toksisitas tinggi,
44 responden (56,4%) menggunakan pestisida yang memiliki toksisitas sedang dan
7 responden (9%) menggunakan pestisida yang memiliki toksisitas rendah.
PEMBAHASAN
Penggunaan pestisida pada
petani seringkali menimbulkan gangguan kesehatan baik terhadap petani itu
sendiri maupun masyarakat yang ikut mengkonsumsi hasil pertanian tersebut.
Penggunaan pestisida terbesar adalah pada pertanian hortikultura. Hortikultura berasal
dari bahasa Latin hortus (tanaman
kebun) dan cultura (budidaya), dan dapat diartikan sebagai budidaya tanaman kebun. Bidang
kerja hortikultura meliputi pembenihan, pembibitan, kultur jaringan, pemanenan, pengemasan dan pengiriman. Berbeda dengan agronomi,
hortikultura hanya mengolah tanaman buah, bunga, sayuran, dan obatobatan. Xl Penelitian ini dilakukan pada petani hortikultura di Desa
Tejosari Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang tahun 2008 dan didapatkan bahwa sebanyak
75 petani (96,15%) mengalami keracunan akibat pestisida dan 63 petani (80,8%)
menderita anemia. Kejadian keracunan akibat pestisida dan anemia pada petani di
Desa Tejosari dapat dipengaruhi oleh banyak sekali faktor, baik lingkungan
maupun dari perilaku petani itu sendiri. Hasil analisis dengan uji Chi-square
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kelengkapan APD
saat penyemprotan dengan kejadian keracunan pada petani hortikultura (p-Value
= 0,355). Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Xiang et
al. (2000) bahwa penggunaan APD selama aplikasi terhadap pestisida
mempunyai hubungan yang bermakna terhadap kejadian keracunan (p-Value =
0,001; OR = 0,8; 95% CI = 0,6 – 1,07).xli Penelitian tentang penggunaan APD yang
dilakukan oleh Fatmawati (2006) menunjukkan bahwa penggunaan APD secara lengkap
mempunyai pengaruh secara bermakna terhadap kadar kolinesterase darah
responden. John H.R. et al. (1999) menyatakan bahwa salah satu faktor
utama dalam keterpaparan seseorang terhadap pestisida adalah penggunaan APD.Satu
hal yang sering dilupakan oleh petani (di negara tropis), umumnya adalah contact
poison. Oleh sebab itu, route of entry melalui kulit sangat
efektif. Apalagi kalau ada kelainan pada kulit dan/atau bersama keringat,
penyerapan pestisida melalui kulit akan lebih efektif. Kejadian kontaminasi
pestisida melalui kulit merupakan kontaminasi yang paling sering terjadi,
meskipun tidak seluruhnya berakhir dengan keracunan akut. Lebih dari 90% kasus
keracunan diseluruh dunia disebabkan oleh kontaminasi lewat kulit. Keracunan
karena partikel pestisida atau butiran semprot terhisap melalui hidung
merupakan kasus terbanyak nomor dua setelah kontaminasi kulit. Pada penelitian
ini, kontaminasi pestisida lebih banyak melalui kulit tangan, pernafasan dan
mata. Hal ini terlihat dari data yang menunjukkan jumlah petani yang tidak
menggunakan sarung tangan pada penelitian ini sebanyak 73 orang (93,6%), tidak
menggunakan masker sebanyak 46 orang (59%) dan tidak
menggunakan pelindung mata sebanyak 78 orang (100%). Penelitian
yang dilakukan oleh Vreede et al. (1998) menunjukkan bahwa petani yang
tidak menggunakan alat pelindung diri saat kontak dengan pestisida mempunyai paparan
pestisida terbesar melalui tangan terutama saat pencampuran pestisida dengan
paparan sebesar 103,53 μg/jam dan diikuti oleh paparan melalui pernafasan yaitu
sebesar 11,6 μg/jam. xlii Tidak adanya hubungan antara kelengkapan APD dengan
kejadian keracunan dapat disebabkan karena pada saat penelitian dilakukan,
petani sedang memasuki masa tanam tembakau dimana penyemprotan pestisida sangat
jarang dilakukan. Musim kemarau yang sedang berlangsung saat penelitian juga menyebabkan
penyemprotan pestisida menjadi sangat jarang dilakukan sehingga mempengaruhi
tingkat keracunan terhadap petani hortikultura. Beberapa penelitian menyatakan
bahwa masa kerja sebagai petani merupakan faktor risiko terjadinya keracunan
akibat pestisida pada petani. Tetapi pada penelitian ini hasil analisis
statistik bivariat menggunakan uji Chi-square menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian keracunan pada petani (p-Value
= 0,953). Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Kesavachandran et al. (2006) yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan keracunan
akibat pestisida yang signifikan antara petani dengan masa kerja < 5 tahun
dan ≥ 5 tahun (OR = 6,30; 95% CI = 1,3 – 47,3).xliii Lama kerja sebagai petani
penyemprot tidak berpengaruh terhadap kejadian keracunan karena penggunaan
pestisida dalam waktu yang singkat telah dapat menimbulkan keracunan pada
petani. Gejala keracunan kronik organofosfat timbul akibat penghambatan
kolinesterase dan akan menetap selama 2 – 6 minggu, menyerupai keracunan akut
ringan. Tetapi bila terpapar lagi dalam jumlah kecil dapat timbul gejala yang
berat. Untuk golongan karbamat, ikatan kolinesterase akan bersifat sementara
dan akan terlepas kembali dalam beberapa jam (reversibel), sehingga tidak akan
timbul keracunan kronik.23 Hal ini berarti bahwa kejadian keracunan pada petani
tidak dipengaruhi oleh masa kerja sebagai petani tetapi dipengaruhi oleh
intensitas paparan yang terjadi serta rentang waktu penggunaan pestisida. Jika
petani berhenti menggunakan pestisida dalam waktu yang lama, maka keracunan
akibat pestisida akan hilang dengan sendirinya, karena ikatan pestisida di
dalam darah akan terlepas kembali. Penelitian yang dilakukan pada bulan Agustus
juga mempengaruhi kejadian keracunan pada petani di Desa Tejosari. Pada bulan
Agustus, petani melakukan penanaman tembakau dimana penggunaan pestisida pada
saat penanaman tembakau sangat jarang dilakukan yaitu minimal seminggu sekali.
Hal ini juga didukung dengan musim kemarau yang menyebabkan residu pestisida tidak
akan hilang bersama air hujan. Penggunaan pestisida yang jarang pada musim
tanam tembakau menyebabkan hubungan antara masa kerja dengan kejadian keracunan
pestisida menjadi tidak signifikan. Hasil analisis statistik bivariat
menggunakan uji Chi-square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
lama waktu saat penyemprotan dengan kejadian keracunan pada petani (p-Value =
0,622). Hal ini disebabkan karena pada penelitian ini lama saat penyemprotan
petani masih dalam batas yang aman yaitu 1 – 3 jam sehingga keracunan akibat
pestisida dapat diminimalisir. Prabu (2008) menyatakan bahwa gejala keracunan
pestisida organofosfat dan karbamat biasanya timbul setelah 4 jam kontak,
tetapi bisa timbul setelah 12 jam.xliv Hasil penelitian pada petani di Desa
Tejosari menunjukkan bahwa ratarata responden melakukan penyemprotan selama 2
jam dan sebanyak 76 responden (97,4%) melakukan penyemprotan < 4 jam dalam
setiap praktek penyemprotan. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Atmojo (1991) yang menyatakan bahwa semakin lama
seorang petani penyemprot bekerja dalam sehari, semakin tinggi risiko untuk
terjadi keracunan (OR = 3,630). Penelitian yang dilakukan oleh Tugiyo (2003)
menyatakan bahwa tenaga penyemprot yang mempunyai jam kerja > 5 jam
mempunyai resiko keracunan pestisida lebih besar daripada tenaga penyemprot
yang mempunyai jam kerja ≤ 5 jam (OR = 5,22).xlv Lama waktu saat penyempotan
merupakan hal yang harus diwaspadai karena semakin lama petani kontak dengan
pestisida maka akan semakin besar kemungkinan petani mengalami keracunan
apalagi jika diiringi dengan waktu penyemprotan. Penyemprotan pada siang hari
dengan suhu yang tinggi akan menambah peluang terjadinya keracunan karena suhu
yang tinggi akan menyebabkan metabolisme di dalam tubuh meningkat dan
penyerapan pestisida ke dalam tubuh menjadi semakin besar. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa suhu lingkungan saat penyemprotan memiliki data yang homogen
yaitu tergolong baik (19 – 23oC) sehingga tidak dapat dilakukan analisis dengan
menggunakan uji Chi-square. Suhu lingkungan yang buruk bagi petani
penyemprot pestisida adalah jika lebih tinggi dari suhu tubuh manusia yaitu
27oC. Jika suhu lingkungan tinggi, maka suhu tubuh pun akan meningkat.38 Suhu
badan yang tinggi akan menyebabkan vasodilasi yaitu pembuluh darah mengembang
untuk berdekatan dengan kulit (lingkungan luar) yang memungkinkan panas
dibebaskan keluar, lebih banyak darah pada kulit untuk memudahkan panas darah
terbebas keluar melalui proes penyinaran dan berpeluh, air keringat yang
dirembes oleh kelenjar keringat mempunyai panas tertentu sehingga dapat
menyerap pana yang tinggi dan terbebas
ke lingkungan sekitar apabila air keringat menguap. xlvi Selain itu, meningkatnya
suhu tubuh juga dapat meningkatkan metabolisme rate dengan setiap peningkatan
1% suhu tubuh inti akan meningkatkan kecepatan reaksi biokimia 10%. Hal ini
mendukung dugaan bahwa suhu lingkungan yang tinggi pada saat penyemprotan akan
menyebabkan proses kontaminasi yang lebih besarterutama melalui kulit. Mekonnen
dan Agonafir (2002) menyatakan bahwa pengelolaan pestisida yang baik merupakan
cara yang paling penting dalam mencegah keracunan akibat pestisida, antara lain
menghindari cuaca yang panas dan berangin saat penyemprotan, penggunaan alat
pelindung diri secara lengkap dan benar, praktek pencampuran dan penuangan
pestisida pada sprayer.xlvii Hasil analisis statistik bivariat
menggunakan uji Chi-square pada penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara praktek pengelolaan pestisida dengan kejadian keracunan pada
petani (p-Value = 0,316). Hal ini bertentangan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Prihadi (2007) yang menyatakan bahwa petani yang praktek penanganan
pestisida buruk mempunyai resiko 17 kali lebih besar terkena keracunan
pestisida dibandingkan petani yang baik dalam praktek penanganan pestisida. Umumnya, kasus keracunan di kalangan petani
terjadi karena beberapa hal. Pengaplikasian pestisida, terutama penyemprotan
merupakan pekerjaan yang paling mudah dan paling sering menimbulkan kontaminasi
kulit. Kontaminasi juga sering terjadi karena menyeka wajah dengan tangan,
lengan baju, atau sarung tangan yang terkontaminasi. Petani tidak memiliki
informasi yang benar dan akurat tentang pestisida, resiko penggunaan, serta
teknik penggunaan atau aplikasi pestisida yang benar dan bijaksana. Biasanya petani
cenderung menganggap ringan bahaya pestisida sehingga tidak mematuhi
syarat-syarat keselamatan dalam menggunakan pestisida. Keracunan pestisida,
terutama keracunan kronis, sering tidak terasa dan akibatnya sulit diramalkan.
Oleh karena itu, kebanyakan petani akan mengatakan bahwa mereka sudah belasan
tahun mengaplikasikan pestisida dengan cara mereka dan tidak merasa
terganggu.16 Padahal justru anggapan praktek pengelolaan pestisida yang
dilakukan oleh petani di Indonesia saat ini sangat berbahaya bagi diri mereka
maupun lingkungan hidup di sekitarnya. Tidak adanya hubungan antara pengelolaan
pestisida dengan kejadian keracunan pestsida pada petani dapat disebabkan oleh
status gizi yang dimiliki oleh responden penelitian. Status gizi yang baik
(91,03%) membantu daya tahan tubuh petani sehingga dapat mengurangi kejadian
keracunan akibat pestisida. Dampak kesehatan akibat pestisida juga tergantung
pada kandungan bahan kimia (berbahaya) di dalam pestisida dan level pemaparan.
Evaluasi dampak pestisida didasarkan pada eksperimen terhadap manusia dan hewan
uji dimana keracunan akut, subakut, semi-kronis dan kronis ditentukan bersamaan
dengan efek pada kulit (iritasi dan sentisivitas kulit), kandungan teratogenik
dan karsinogenik serta pengaruhnya terhadap reproduksi.42 Toksisitas pestisida ditentukan
berdasarkan LD50 dan jenis formulasi dari bahan aktif yang terkandung dalam
pestisida. Hasil analisis statistik bivariat menggunakan uji Chi-squaremenunjukkan
bahwa tidak ada hubungan antara tingkat toksisitas pestisida dengan kejadian
keracunan pestisida organofosfat dan karbamat (p-Value = 0,307).
KESIMPULAN
Pestisida merupakan campuran yang
husus di gunakan untuk mengendalikan mencegah dan menangkus gangguan serangga,
binatang pengerat nematoda yang di anggap hama. Pestisida merupakan semua zat
atau campuran zat yang di gunakan untuk mengatur pertumbuhan atau untuk
meringankan tanaman. pada penelitian ini yang paling berpengaruh terhadap
kejadian anemia adalah status gizi. Sehingga di perlukan adanya pemberian
suplemen penambah zat besi agar petani terhindar dari anemia.
KRITIKAN
Judul : Faktor –Faktor Yang Berhubungan Dengan
Keracunan Pestisida Organofosfat, Karbamat Dan Kejadian Anemia Pada Petani
Hortikultura di Desa Terjosari Kec. Ngablak Kabupaten Magelang.
Kritik : pada
penelitian ini penulis sangat mengharapkan agar Tesis ini bisa memberikan
pelayanan kesehatan yang lebih baik lagi dan tepat sasaran sehingga dampak
negatif dari penggunaan pestisida organofosfat dan karbamat dapat di minimalisir.
Kritik :
Penelitian ini sudah jelas karena penulis sudah menerapkan cara untuk mengatasi
penggunaan pestisida yang berlebihan sehingga tidak berdampak buruk bagi
kesehatan masyarakat.
No comments:
Post a Comment