Saturday, May 20, 2017

Masalah Kesehatan Pekerja Wanita

A.    Masalah Kesehatan Pekerja Wanita
Beberapa penelitian melaporkan bahwa dikalangan tenaga kerja wanita 30-40% menderita Anemia, dan hasil studi di Tangerang tahun 1999 menunjukan prevalensi Anemia pada pekerja wanita 69%. Pekerja yang menderita Anemia dari hasil penelitian produktivitasnya 20% lebih rendah dari pada pekerja yang sehat. Penelitian yang dilakukan oleh Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (1985) didapatkan 15% pekerja wanita kekurangan energi dan protein yang menyebabkan pekerja menjadi lambat berpikir, lambat bertindak dan cepat lelah.
Wanita yang bekerja sesungguhnya adalah arus utama di banyak industri. Mereka diperlakukan sama dari beberapa segi, hanya dari segi pengalaman kesehatan mereka berbeda dengan laki - laki. Dengan adanya perbedaan-perbedaan, wanita berhak mendapatkan pelayanan kesehatan kerja yang diperlukan.
Pada umumnya ada salah persepsi, bahwa selain masalah reproduksi, wanita  karier mempunyai risiko yang sama untuk mendapat penyakit akibat kerja dan juga mendapat perlindungan yang sama terhadapnya.
1.                  Permasalahan tenaga kerja wanita
9
a         Perbedaan anatomi & fisiologi (risiko terkena penyakit akibat kerja berbeda). Dari segi anatomi, wanita lebih sering mengalami dislokasi patella pada lutut, lebih tinggi risiko terkena Hernia L5-S1, karena ukuran tubuh lebih kecil maka gangguan musculoskeletal akan lebih rentan. Kekuatan fisik lebih rendah dibandingkan laki - laki, lemak tubuh rata -rata lebih tinggi sehingga pekerja wanita kurang tahan suhu panas, tapi lebih tahan dingin, penyimpanan bahan yang larut dalam lemak lebih tinggi.
b        Wanita melalui fase kehidupan reproduksi yang berbeda (Siklus haid, Kehamilan, Menyusui).
1).    Menstruasi: Dismenorrhoe berat - dapat mempengaruhi kinerja.
2).    Kehamilan: Trimester I: pajanan toksik yang dapat melalui plasenta, kapasitas kerja terutama menurun 6 - 8 minggu terakhir
3).    Laktasi: bahan kimia tertentu dapat dideposit dalam ASI
c         Perlakuan terhadap  karyawan wanita berbeda
d        Peran ganda tenaga kerja wanita dengan bekerjanya  di luar rumah, beban kerja sebagai ibu, istri, anak / menantu dan pengurus rumah tangga sering tidak berkurang
2.      Permasalahan Kesehatan Tenaga Kerja Wanita
a         Kekurangan Gizi
1).    Masalah Gizi Utama pada tenaga kerja wanita: Anemia Gizi atau Anemia Defisiensi Fe
2).    Prevalensi Anemia Gizi pada pekerja wanita sekitar 30%
3).    Produktivitas pada penderita Anemia Gizi menurun 20 %
b        Stres Akibat Kerja. Wanita berpotensi lebih besar untuk terpajan oleh stres ditempat kerja dan dengan demikian juga penyakit - penyakit akibat stres tersebut, seperti : Gangguan psikosomatis, Anxietas - Depressi
c         Gangguan Kesehatan Akibat Faktor Ergonomi. Desain tempat Kerja & APD sering tidak sesuai dengan ukuran tubuh wanita, gangguan muskuloskeletal lebih rentan pada wanita, risiko kecelakaan lebih sering pada wanita, Incidence Carpal Tunnel Syndrome pada tenaga kerja wanita 1,4 – 1,6  kali dibandingkan dengan tenaga kerja  pria. Faktor ergonomis : penyebab utama cuti sakit pada karyawan wanita  adalah gangguan musculoskeletal (16%)
d        Gangguan Kesehatan Reproduksi. Gangguan Haid: Amenorrhoe – akibat kerja fisik berat atau stres ; Infertilitas ; Gangguan kehamilan ;  Abortus, BBLR atau Kelainan Congenital ; Keganasan ; Ca Mammae.
B.     Sektor Informal
Dalam Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Kerja, Pasal 164 -166 dinyatakan bahwa upaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) harus diselenggarakan di semua tempat kerja baik di sektor formal maupun informal, dan pemerintah menetapkan standar kesehatan kerja yang harus ditaati oleh pengelola institusi yang bersangkutan.
Istilah sektor informal berasal dari terminologi ekonomi, yang dikenal sebagai sektor, kegiatan ekonomi marginal atau kegiatan ekonomi kecil - kecilan. Biasanya dikaitkan dengan usaha kerajinan tangan, dagang, atau usaha lain dengan cara kecil - kecilan. (Depkes.RI.2006).
Ciri - ciri kegiatan ekonomi marginal yang dikategorikan kedalam  sektor informal antara lain : pola kegiatan tidak teratur, baik dalam arti waktu, pemodalannya maupun penerimaannya.
1.      Pola umumnnya tidak tersentuh oleh peraturan dan ketentuan yang di tetapkan oleh pemerintah.
2.      Menggunakan sistem manajemen sumber daya, waktu, manusia, teknologi pemodalan secara tradisional.
3.      Umumnya tidak mempunyai tempat kerja yang permanen dan tidak terpisah dari tempat tinggal
4.      Pada umumnya dilakukan oleh golongan masyarakat yang berpendapatan rendah
5.      Pada umumnya tiap - tiap satuan usaha memperkerjakan tenaga dari lingkungan keluarga, kenalan atau berasal dari daerah yang sama.
Secara singkat dapat dikatakan, bahwa sektor informal memiliki ciri - ciri tidak terorganisasi, tidak terdaftar dan tidak dilindungi oleh hukum.  (Depkes.RI.2006 ).
Dalam Undang - Undang No.36 Tahun 2009, tentang Kesehatan pada pasal 164, tentang Kesehatan Kerja  yang bunyinya, sebagai berikut :
1.       Upaya   kesehatan   kerja   ditujukan   untuk   melindungi pekerja  agar  hidup  sehat  dan     terbebas  dari  gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan.
2.       Upaya  kesehatan  kerja  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (1) meliputi pekerja di sektor   formal dan informal.
3.       Upaya  kesehatan  kerja  sebagaimana  dimaksud  pada ayat  (1)  berlaku bagi  setiap   orang  selain  pekerja  yang berada di lingkungan tempat kerja.
4.       Upaya  kesehatan  kerja  sebagaimana  dimaksud  pada ayat  (1)  dan  ayat  (2)  berlaku  juga  bagi  kesehatan  pada lingkungan  Tentara  Nasional  Indonesia  baik  darat,  laut, maupun udara serta kepolisian Republik Indonesia.
5.       Pemerintah    menetapkan    standar    kesehatan    kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
6.       Pengelola tempat kerja wajib mentaati standar kesehatan kerja sebagaimana   dimaksud   pada   ayat (5) dan menjamin     lingkungan     kerja     yang     sehat     serta bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan kerja.
7.       Pengelola  tempat  kerja  wajib  bertanggung  jawab  atas kecelakaan kerja yang terjadi di lingkungan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
C.    Ergonomi, Kelelahan Kerja
Ergonomi menurut makna dasar adalah ergo artinya kerja (work ) dan nomos adalah hukum – hukum alam ( natural laws ) , pengertian work secara sempit adalah kegiatan yang mendapat upah, tetapi kegiatan kerja secara luas adalah semua gerakan manusia merupakan kerja, meski tidak mendapatkan upah , jadi ergonomi / ergonomos adalah gerakan yang efektif, efisien, nyaman, aman, tidak menimbulkan kelelahan dan kecelakaan sesuai kemampuan tubuh tetapi mendapatkan hasil kerja yang lebih optimal (Gempur Santoso, 2004 : 7 ).
Ergonomi didefinisikan sebagai studi tentang aspek – aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen, dan desain / perancangan. Istilah ergonomi didefinisikan sebagai disiplin ilmu yang mempelajari manusia dalam kaitannya dengan pekerjaannya. Ergonomi didefinisikan suatu cabang ilmu yang sistimatis untuk memanfaatkan informasi - informasi mengenai sifat, kemampuan, dan keterbatasan manusia untuk merancang suatu sistem sehingga orang dapat hidup dan bekerja pada sistem inti dengan baik, yaitu mencapai tujuan yang diinginkan melalui pekerjaan itu dengan efektif, aman dan nyaman.
Menurut Adnyana Manuaba (2000) istilah ergonomi didefinisikan sebagai suatu upaya dalam bentuk ilmu, teknologi, dan seni untuk menyerasikan peralatan, mesin, pekerjaan, sistem, organisasi dan lingkungan dengan kemampuan, keahlian dan keterbatasan manusia sehingga tercapai suatu kondisi dan lingkungan yang sehat, aman, nyaman, efisien, dan produktif, melalui pemanfaatan fungsional tubuh manusia secara optimal dan maksimal. 
Kelelahan berasal dari kata lelah, kata lelah sesuai dengan kamus besar bahasa Indonesia yang berarti menurunnya kapasitas kerja dan ketahanan tubuh. Jadi kelelahan merupakan rasa yang menunjukkan keadaan yang berbeda – beda, tetapi semuanya berakibat pada pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh pekerja itu sendiri (Sum‘mur,1986 ).
Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Istilah kelelahan biasanya menunjukkan kondisi yang berbeda - beda dari setiap individu, tetapi semuanya bermuara kepada kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh.
Terdapat dua jenis kelelahan, yaitu kelelahan otot dan kelelahan umum. Kelelahan otot merupakan tremor pada otot atau perasaan nyeri pada otot, sedangkan kelelahan umum ditandai dengan berkurangnya kemauan untuk bekerja yang disebabkan oleh monotoni (pekerjaan yang sifatnya monoton), intensitas dan lamanya kerja fisik, keadaan lingkungan, kondisi mental dan psikologis, status kesehatan, dan gizi. Pengaruh-pengaruh tersebut terakumulasi di dalam tubuh manusia dan menimbulkan perasaan lelah yang dapat menyebabkan seseorang berhenti bekerja (beraktivitas). Kelelahan dapat diatasi dengan beristirahat untuk menyegarkan tubuh. Apabila kelelahan tidak segera diatasi dan pekerja dipaksa untuk terus bekerja, maka kelelahan akan semakin parah dan dapat mengurangi produktivitas pekerja. Kelelahan sama halnya dengan keadaan lapar dan haus sebagai suatu mekanisme untuk mendukung kehidupan.
D.    Hak Pekerja Wanita
Adapun hak pekerja wanita yang perlu mendapat perhatian semua pihak, sehingga para pekerja wanita dapat bekerja dengan aman dan nyaman dapat lebih produktif dan sehat. Hak pekerja wanita tersebut antara lain adalah : 

1.      Tidak Ada Larangan Hamil bagi Pekerja Wanita. UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan melarang perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja karena alasan pekerja wanita hamil.

2.      Tidak Boleh Ada Perjanjian Kerja yang Mewajibkan Pekerja Wanita Mengundurkan Diri Karena Hamil. Undang-undang No. 13/2003 Pasal 154 huruf b mengatur bahwa perusahaan tidak dapat memaksa pekerja wanita yang hamil untuk mengundurkan diri karena pengunduran diri harus didasarkan pada kemauan dari pekerja itu sendiri.

3.       Perlindungan untuk Pekerja Wanita pada Masa Kehamilan. UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 76 ayat 2 menyatakan bahwa pengusaha dilarang memperkerjakan wanita hamil yang akan bisa berbahaya bagi ibu hamil dan juga bagi kandungannya. Sementara itu, Pasal 3 Konvensi ILO No. 183 Tahun 2000 mewajibkan pemerintah dan pengusaha untuk menjamin para pekerja wanita yang hamil bebas dari tugas-tugas yang membahayakan kandungannya

4.      Cuti Hamil dan Cuti Melahirkan bagi Pekerja Wanita. UU No. 13 Tahun 2003, khususnya pasal 82 mengatur hak cuti hamil dan cuti melahirkan yang dimiliki oleh pekerja wanita. Undang-undang tersebut mengatur bahwa pekerja wanita memiliki hak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan anak dan 1,5 bulan setelah melahirkan.

5.      Cuti Keguguran bagi Pekerja Wanita. Dalam pasal 82 ayat 2 UU No. 13 Tahun 2003 dinyatakan bahwa pekerja wanita yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan yang menangani kasus keguguran tersebut.

6.       Biaya Persalinan untuk Pekerja Wanita. Mengenai biaya persalinan, UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan PP No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja telah mengatur bahwa pengusaha yang mempekerjakan lebih dari 10 tenaga kerja atau membayar upah paling sedikit Rp. 1.000.000,- sebulan wajib mengikutsertakan tenaga kerjanya dalam program jaminan sosial tenaga kerja yang diselenggarakan oleh PT Persero Jamsostek. Salah satu program Jamsostek adalah jaminan pemeliharaan kesehatan yang mencakup biaya pemeriksaan kehamilan dan biaya persalinan. Biaya ini diberikan maksimal untuk persalinan ketiga dan besarnya bantuan biaya tersebut maksimal Rp. 500.000,- untuk persalinan normal.

7.      Hak Pekerja Wanita yang Mengalami Kelahiran Prematur. Pekerja wanita tetap memperoleh hak cuti melahirkan secara akumulatif tiga bulan sejak melahirkan. Perusahaan diwajibkan mengatur pergeseran waktu cuti hamil tersebut.

8.      Hak Menyusui dan / atau Memerah ASI bagi Pekerja Wanita. Setelah melahirkan, seorang pekerja wanita harus menyusui anaknya. Hal ini pun diatur dalam undang - undang internasional dan nasional. Pasal 83 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 mengatur bahwa pekerja wanita yang masih menyusui anaknya harus diberi kesempatan, minimal diberi waktu untuk memerah ASI pada waktu jam kerja. Dalam hal ini seharusnya setiap perusahaan menyediakan ruangan untuk memerah ASI. Pasal 10 Konvensi ILO No. 183 Tahun 2000 mengatur lebih detail bahwa pekerja wanita yang menyusui memiliki hak untuk satu atau lebih jeda di antara waktu kerja atau pengurangan jam kerja setiap harinya untuk menyusui bayinya atau memerah ASI. Sesuai rekomendasi WHO, masa menyusui tersebut sekurang-kurangnya selama 2 tahun.

9.      Hak Cuti Menstruasi bagi Pekerja Wanita. Selama ini cuti menstruasi memang terdengar asing di telinga kita, padahal UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 81 mengatur bahwa pekerja wanita yang sedang menstruasi diijinkan tidak bekerja pada hari pertama dan kedua dan wajib memberitahukannya kepada manajemen perusahaan. Masalahnya, perusahaan biasanya meminta surat resmi dari dokter padahal hampir tidak ada wanita yang konsultasi ke dokter karena menstruasi. Hal inilah yang membuat isu cuti menstruasi seperti hilang begitu saja.

E.     Determinasi Kesehatan Kerja
Determinasi keshatan kerja, yang mencangkup 3 faktor utama, yakni beban kerja, beban tambahan akibat dari lingkungan kerja, dan kemampuan kerja.
1.        Beban Kerja
Setiap pekerjaan apapun jenisnya apakah pekerjaan tersebut memerlukan kekuatan otot atau pemikiran adalah merupakan beban bagi yang melakukan. Dengan sendirinya beban ini dapat berupa beban fisik, beban mental ataupun beban sosial sesuai dengan jenis pekerjaan si pelaku. Seorang kuli angkat junjung di pelabuhan sudah barang tentu akan memikul beban fisik lebih besar dari pada beban mental atau sosial. Sebaliknya seorang petugas bea dan cukai pelabuhan akan menanggung beban mental dan sosial lebih banyak daripada beban fisiknya.
Masing - masing orang memiliki kemampuan yang berbeda dalam hubungannya dengan beban kerja ini. Ada orang yang lebih cocok untuk menanggung beban fisik tetapi orang lain akan mebih cocok melakukan pekerjaan yang lebih banyak pada beban mental atau sosial. Namun demikian secara umum atau rata - rata mereka ini sebenarnya dapat memikul beban dalam batas atau suatu beban yang optimal bagi seseorang.
Oleh sebab itu, penempatan seorang pekerja atau karyawan seharunya  sesuai dengan beban optimum yang sanggup dilakukan. Tingkat ketepatan penempatan seseorang pada suatu pekerjaan, disamping didasarkan pada beban optimum, juga dihubungkan oleh pegalaman, keterampilan, motivasi dan sebaginya.
Kesehatan kerja mengurangi atau mengatur beban kerja para karyawan atau pekerja dengan cara merencanakan atau mendesain suatu alat yang dapat mengurangi beban kerja. Misalnya alat untuk mengangkat barang yang berat diciptakan gerobak, untuk mempercepat pekerjaan tulis - menulis diciptakan mesin ketik, untuk membantu mengurangi beban hitung - menghitung diciptakan kalkulator atau komputer, dan sebagainya. (Soekidjo, 2003).
2.       Beban Tambahan
Disamping beban kerja yang harus dipikul oleh pekerja atau karyawan, pekerja sering atau kadang - kadang memikul beban tambahan yang berupa kondisi atau lingkungan yang tidak menguntungkan bagi pelaksanaan pekerjaan. Disebut beban tambahan karena lingkungna tersebut mengganggu pekerjaan dan harus diatasi oleh pekerja atau karyawan yang bersangkutan. Beban tambahan ini dapat dikelompokkan menjadi 5 faktor, yakni:
a.    Faktor fisik, misalnya penerangan / pencahayaan yang tidak cukup, suhu udara yang panas, kelembaban yang tinggi atau rendah, suara bising, dan sebagainya
b.    Faktor kimia, yaitu bahan - bahan kimia yang menimbulkan gangguan kerja, misalnya bau gas, uap atau asap, debu dan sebagainya.
c.    Faktor biologi, yaitu binatang atau hewan dan tumbuh - tumbuhan yang menyebabkan pandangan tidak enak mengganggu, misalnya nyamuk, lalat, kecoa, lumut, tanaman yang tidak teratur, dan sebagainya.
d.    Faktor fisiologis, yakni peralatan kerja yang tidak sesuai dengan ukuran tubuh anggota badan (ergonomis), misalnya kursi atau kursi yang terlalu tinggi atau pendek.
e.    Faktor sosial fisikologis, yaitu suasana kerja yang tidk harmonis, misalnya adanya klik, gosip, cemburu, dan sebagainya.
Agar faktor - faktor tersebut tidak menjadi beban tambahan kerja atau setidak - tidaknya mengurangi beban tambahan tersebut maka lingkungan kerja harus ditata secara sehat.
 Lingkungan kerja yang tidak sehat akan menjadi beban tambahan bagi pekerja atau karyawan, misalnya:
a.    penerangan atau pencahayaan ruangan kerja yang tidak cukup dapat menyebabkan keletihan mata.
b.    Kegaduhan dan bising dapat menggangu konsentrasi, mengganggu daya ingat dan menyebabkan kelelahan psikologis.
c.    Gas uap, asap dan debu yang terhisap lewat pernapasan dapat mempengaruhi berfungsinya berbagai jaringan tubuh yang akhirnya menurunkan daya kerja.
d.    Binatang, khususnya serangga (nyamuk, kecoa, lalat, dan sebagainya). Disamping mengganggu konsentrasi kerja juga merupakan pemindahan (vektor) dan penyebab penyakit.
e.    Alat - alat bantu kerja yang tidak ergonomis (tidak sesuai dengan ukuran tubuh) akan menyebabkan kelelahan kerja yang cepat.
f.     Hubungan atau iklim kerja yang tidak harmonis dapat menimbulkan kebosanan, tidak betah kerja dan sebagainya yang akhirnya menurunkan produktivitas kerja.
Hal - hal tersebut di atas dapat dilakukan tindakan pencegahan dengan cara:
a.    Penerangan / pencahayaan yang cukup. Penggunaan lampu neon (fluorecent) dianjurkan karena kesilauan rendah, tidak banyak bayangan, dan suhu rendah.
b.    Dekorasi warna ditempat kerja. Warna atau cat tembok mempunyai arti penting dalam kesehatan kerja. Warna merah padam misalnya, dapat merangsang seseorang bekerja lebih cepat daripada warna biru.
c.    Ruangan yang diberi pendingin (AC) akan menimbulkan efisiensi yang diberikan namun suhu terlalu tinggi juga akan mengurangi efisiensi.
d.    Bebas seranggga (lalat, nyamuk, kecoa) dan bebas dari bau - bauan yang tidak sedap. Penggunaan musik di tempat kerja, dan sebagainya. (Soekidjo, 2003).
3.       Kemampuan Kerja
Kemampuan seseorang dalam melakukan pekerjaan berbeda dengan seseorang yang lain meskipun pendidikan dan pengalamannya sama dan bekerja pada suatu pekerjaan atau tugas yang sama. Perbedaan ini disebabkan karena kapasitas orang tersebut berbeda.
Kapasitas adalah kemampuan yang dibawa dari lahir oleh seseorang yang terbatas. Artinya kemampuan tersebut dapat berkembang karena pendidikan atau pengalaman tetapi diumpamakan kapasitas ini adalah suatu wadah kemampuan yang dipunyai oleh masing - masing orang.
Kapasitas dihubungkan oleh berbagai faktor antara lain gizi dan kesehatan ibu, genetik dan lingkungan. Selanjutnya kapasitas ini menghubungkan atau menentukan kemampuan seseorang. Kemapuan seseorang dalam melakukan pekerjaan disamping kapasitas juga dihubungkan oleh pendidikan, pengalaman, kesehatan, kebugaran, gizi, jenis kelamin dan ukuran - ukuran tubuh.
Kemampuan tenaga kerja pada umunya diukur dari keterampilannya dalam melaksanakan pekerjaan. Semakin tinggi keterampilan yang dimiliki oleh tenaga kerja, semakin efisien badan (anggota badan), tenaga dan pemikiran (mentalnya) dalam melaksanakan pekerjaan. Penggunaan tenaga dan mental atau jiwa yang efisien, berarti beban kerjanya relatif rendah.
Dari laporan - laporan yang ada, para pekerja yang mempunyai keterampilan yang tinggi, angka absenteisme karena sakit lebih rendah dari pada mereka yang keterampilannya rendah. Pekerja yang keterampilannya rendah akan menambah beban kerja mereka, yang akhirnya berhubungan terhadap kesehatan mereka.
Oleh karena kebugaran, pendidikan dan pengalaman berhubungan dengan tingkat keterampilan pekerja maka keterampilan atau kemampuan pekerja senantiasa harus ditingkatkan melalui program - program pelatihan, kebugaran dan promosi kesehatan.
Peningkatan kemampuan tenaga kerja ini akhirnya akan berdampak terhadap peningkatan produktivitas kerja. Program perbaikan gizi melalui pemberian makanan tambahan bagi tenaga kerja terutama bagi pekerja kasar misalnya adalah merupakan faktor yang sangat penting untuk meningkatkan produktivitas kerja. (Soekidjo, 2003).
F.     Nyeri Otot (Musculoskeletal)
1.                                            Pengertian Nyeri Otot
Nyeri otot (musculoskeletal) merupakan keluhan yang sering terjadi, walupun gerakan peregangan sebetulnya cukup efektif untuk mecegahnya. Jangan meremehkan ganguan ini karena kerusakan jaringan bisa menjadi lebih parah dan menahun. Otot merupakan jaringan yang berguna untuk menopang tubuh. Pada alat gerak seperti lengan dan tungkai kaki, otot berfungsi sebagai penggerak pada batang, otot berguna untuk mengembangkan serta mengempiskan rongga dada dan melindungi organ penting lainnya. Untuk bisa bekerja optimal otot harus dipelihara dengan baik
Nyeri otot termasuk salah satu keluhan yang sering diderita pekerja, keluhan nyeri bisa berlangsung hanya dalam waktu singkat, bisa beberapa hari, bahkan beberapa tahun. Pada nyeri sesaat, kemungkinan besar tidak mengganggu aktivitas sehari - hari. (Rachmawati, 2008).
Penderita baru akan merasa tersiksa jika nyeri itu muncul secara terus-menerus. Bila tidak segera diatasi, nyeri akan menjadi gangguan yang serius. Nyeri merupakan perasaan tidak menyenangkan akibat adanya suatu kerusakan jaringan, baik yang sedang berlangsung maupun yang telah terjadi. Dengan adanya gejala nyeri, kerusakan jaringan yang sedang berlangsung sebenarnya dapat segera ditangani agar tidak terjadi kerusakan yang lebih berat.
   Nyeri otot sangat berbeda dengan nyeri saraf. Nyeri yang ditimbulkan oleh saraf umumnya lebih khas, tergantung dari saraf yang tertekan. Saraf di lipatan bokong (Nervus Ischiadicus), bila tertekan akan menimbulkan rasa sakit yang menjalar hingga ke kaki, sesuai dengan perjalanan sarafnya. Diagnosis yang cepat dapat menentukan jenis nyeri yang terjadi, sehingga terapinya pun akan dipilih yang paling sesuai. Penanganan nyeri otot harus dilakukan secara menyeluruh. Dengan mengetahui jenis nyeri otot yang terjadi dan faktor penyebabnya, kemudian diberi terapi yang tepat.
2.                                            Gejala - Gejala Nyeri Otot Akibat Kerja
Menurut Sum’mur (1986) ada beberapa gejala - gejala atau perasaan yang ada hubungannya dengan nyeri otot akibat kerja yaitu antara lain perasan berat kepala, menajadi lelah seluruh badan, kaki merasa berat, merasa kacau pikiran, mengantuk, merasakan beban pada mata, kaku dan canggung dalam gerakan, tidak seimbang dalam beridiri, mau berbaring, merasa susah berpikir, lelah bicara, menjadi gugup, tidak dapat berkonsentrasi, tidak mempunyai perhatian terhadap sesuatu, cederung untuk lupa, kuranga kepercayaan, tidak dapat mengontrol sikap, tidak dapat tekun dalam bekerja, sakit kepala, nyeri pada bagian tubuh seperti pinggang, punggung, leher dan sebagainya, mengalami kekakuan di bahu, haus, merasa serak, spasme dari kelopak mata, tremor pada anggota badan dan merasa kurang sehat.
3.                                            Sebab - Sebab Nyeri Otot (Musculoskeletal)
Ada beberapa penyebab terjadnya nyeri otot secara umum yaitu antara lain:
a.      Penyebab Langsung
      Ada beberapa penyebab langsung sehingga pekerja mengalami nyeri otot yaitu :
1).   Monotonnya pekerjaan yang dilakukan (tidak ergonomis)
Pekerjaan yang mononton yang dilakukan oleh seorang pekerja dapat menyebabkanya mengalami gangguan fisik, jika suatu pekerjaan dilakukan dengan posisi tertentu tanpa diganti akan menyebabkannya mengalami nyeri otot.
2).   Jam kerja
Setiap perusahaan tentu memerlukan jam kerja yang berbeda-beda, hal ini dimaksudkan untuk mencapai tujuan perusahaan secara optimal dan menjaga kesejahteraan karyawan. Menurut undang-undang setiap perusahaan wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja bagi pekerja yang dipekerjakan. Waktu kerja yang dimaksud meliputi waktu kerja siang hari yaitu 7 - 8 jam dalam sehari (UU No. 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan, pasal 100).
3).   Posisi duduk
Duduk memerlukan sedikit energi daripada berdiri, sehingga dapat mengurangi banyak beban otot statis pada kaki. Seseorang yang bekerja sambil duduk memerlukan istirahat yang lebih sedikit dan secara potensial lebih produktif. Namun posisi duduk yang keliru dapat menjadi penyebab timbulnya masalah - masalah pada punggung. Tekanan pada bagian tulang belakang akan meningkat pada saat duduk.
Posisi duduk merupakan sikap dan posisi badan yang dianggap paling ergonomis ketika bekerja, karena mengurangi efek samping dari lama kerja sehingga mencegah timbulnya nyeri pada pinggang. Posisi duduk yang paling baik adalah sedikit membungkuk, sedangkan dari sudut tulang dinasihatkan supaya duduk tegak agar punggung tidak bungkuk dan otot perut tidak lemas (Suma’mur, 1986)
Posisi duduk yang tidak menimbulkan risiko nyeri pinggang adalah sikap badan dan tulang belakang adalah posisi duduk dengan sedikit lardosa pada pinggang dan sedikit memungkinkan kifosa (kecekungan menghadap kedepan) pada punggung. Sikap demikian dapat dicapai dengan kursi yang memiliki sandaran punggung yang sesuai ukuran punggung (Suma’mur, 1989).
4).   Kurangnya waktu istirahat saat bekerja
Setiap pekerja berhak untuk mendapatkan waktu istirahat kerja. Waktu istirahat kerja sebagaimana dimaksud meliputi: Istirahat antara jam kerja, sekurang - kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 jam terus menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja (UU No. 25 Tahun 1997, Pasal 102)
5).   Keadaan lingkungan
Keadaan lingkungan yang tidak sehat dapat menyebabkan pekerja mengalami gangguan seperti nyeri otot, karena akan berhubungan dengan kesehatan pekerja itu sendiri.
6).   Perilaku dari pekerja itu sendiri
Perilaku pekerja yang tidak sesuai dengan standar K3 dapat menyebabkan terjadinya risiko - risiko yang tidak diinginkan seperti mengalami penyakit dan sebagainya.
7).   Lama duduk
Lama duduk yang ideal bagi setiap pekerja pada posisi tertentu dalam aturan K3 maksimal 4 jam diselangi dengan istirahat selama 45 menit.
b.      Penyebab Tidak Langsung
1).     Karakteristik individu pekerja itu sendiri yang meliputi :
a)       Umur Pekerja
Umur dapat juga menyebabkan orang dapat dengan mudah mengalami nyeri otot kerja hal ini dikarenakan semakin tua umur sesorang maka ketahanan tubuhnya terhadap beban kerja semakin rendah sehingga mudah sekali mengalami nyeri otot kerja. Umur yang rentan terhadap nyeri otot kerja adalah >50 tahun (Anief, 1992).
b)       Jenis Kelamin
Pria umumnya lebih mudah mengalami keluhan kesehatan dibandingkan dengan wanita. Hal ini disebabkan kaum pria lebih banyak mempunyai faktor yang mendorong terjadinya hipertensi seperti stress, nyeri otot dan makan tidak terkontrol. Biasanya selama umur subur, wanita rawan terhadap bahaya kesehatan reproduksi risiko yang juga ditanggung dan wanita akan mengalami peningkatan risiko terkena hipertensi setelah masa menopause yaitu sekitar umur 45 tahun ke atas
c)       Pendidikan (Pengetahuan ) pekerja
Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengetahuan di dalam domain kognitif (Notoatmodjo, 2001).
Pengetahuan identik dengan pendidikan, pengetahuan yang rendah sekali dikarenakan oleh rendahnya pendidikan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behavior), karena pengetahuan akan lebih langgeng dan bermanfaat dari pada perilaku yang tidak didasari akan pengetahuan itu sendiri (Notoatmodjo, 2003).
4.                                            Proses Terjadinya Nyeri Otot
Menurut Capaldini, (2005) nyeri otot adalah salah satu gejala tubuh yang penting dan rumit yang disebabkan oleh adanya satu gangguan tertentu, atau oleh beberapa masalah yang berlangsung secara bersamaan. Karena ini merupakan perasaan, yang dapat dialami setiap orang, ada kecenderungan untuk memandangnya sebagai bagian dari hidup yang normal. Nyeri otot cenderung muncul secara perlahan, maka si penderita sering tidak menyadarinya. Tidak seperti jenis penyakit lainnya yang dulunya tidak ada dan kemudian berlangsung dalam sehari, nyeri otot cenderung tak kentara dan memburuk setelah beberapa waktu. Maka penting bagi semua masyarakat dan dokternya untuk melakukan pemeriksaan terhadap nyeri otot fisik setiap enam bulan atau lebih cepat lagi, karena gangguan sering dilupakan. Pada sebagian terbesar masyarakat, penyebab nyeri otot bisa diidentifikasi dan diobati.
Karena dipaksa melakukan aktifitas terus menerus dalam tubuhnya. Secara spesifik terjadinya nyeri otot fisik adalah secara spesifik reaksi - reaksi otot - otot dan urat yang disebabkan tingginya tingkat keseringan melakukan posisi duduk atau berdiri ketika bekerja menyebabkan otot tersebut menegang dan akan menimbulkan rasa nyeri diseluruh anggota tubuh, hal tersebut juga disebabkan karena kekurangan nutrisi dan zat gizi memakan makanan yang buruk (junk food), kekerasan, gangnguan saraf, hipoglicemia, kemiskinan, masalah-masalah perkawinan dan sosial. Beberapa ketidak seimbangan internal dan faktor - faktor nyeri otot ini semua memiliki kontribusi pada faktor-faktor ‘meluapnya total kelelahan’ dalam tubuh.
Salah satu faktor yang menyebabkan turunya produktivitas kerja dari seorang pekerja adalah nyeri otot, karena yang mengalami nyeri otot tidak mampu bekerja secara optimal seperti hari - hari biasanya, sehingga nyeri otot pekerja subyektif perlu juga diperhatikan oleh pekerja (Sucipto, 1989).
Dikatakan bahwa nyeri otot dapat merambat kemana - mana maksudnya dalam menyebabkan penyakit lain. Persentase penyakit yang disebabkan oleh nyeri otot diperkirakan sekitar 75% - 85% dari semua masalah - masalah medis terkait atau disebabkan oleh nyeri otot. Jumlah nyeri otot tertentu yang ada dalam tubuh kita masih tergolong normal, tetapi jika diperpanjang oleh keluhan kelelahan fisik akan menyebabkan kepenatan, penyakit - penyakit minor, menghalangi kekebalan, dan akhirnya menyebabkan kondisi - kondisi degeneratif  kronis dalam tubuh.
            Tubuh dirancang untuk menghadapi berapa nyeri otot, baik itu nyeri otot mental maupun fisik. Nyeri otot jangka panjanglah yang dapat menyebabkan tubuh sakit. Banyak orang yang mengatakan bahwa nyeri otot mereka terkait dengan gejala - gejala ‘saraf - saraf’, dan bahkan nyeri otot pertama kali menghubungkan bagian - bagian tubuh yang terkait dengan sistem saraf, terutama yang melewati sistem pencernaan dan usus, dan juga melalui kelenjar adrenal dan tiroid (hormon yang memproduksi kelenjar-kelenjar).
5.                                            Pencegahan Nyeri Otot
Nyeri otot mudah dihilangkan dengan istirahat. Tetapi jika dipaksakan terus, nyeri otot akan terus bertambah dan sangat mengganggu. Istrirahat sebagai usaha pemulihan dapat dilakukan dengan berhenti bekerja sewaktu-waktu, sebentar sampai dengan tidur malam hari. (Suma’mur, 1986)
Ketika merasakan musculoskeletal, hal pertama yang perlu dilakukan adalah berdiri. Berelaksasi setiap 20 - 30 menit sangat penting untuk mencegah ketegangan otot. Berdiri dan meluruskan pinggang bawah beberapa kali sangat menolong. Jalan - jalan satu jam sekali juga sangat menolong mengurangi ketegangan otot. Hal yang harus dihindari selama duduk supaya tidak terjadi musculoskeletal antara lain jangan duduk pada kursi yang terlalu tinggi, duduk dengan membungkukkan pinggang, atau duduk tanpa sandaran di pinggang bawah (pendukung lumbal). Selain itu, selama duduk perlu menghindari duduk dengan mencondongkan kepala ke depan karena dapat menyebabkan gangguan pada leher, duduk dengan lengan terangkat karena dapat menyebabkan nyeri pada bahu dan leher, serta duduk tanpa sokongan lengan bawah karena dapat menyebabkan nyeri pada bahu pinggang.
G.    Faktor Yang Menyebabkan Nyeri Otot ( Musculoskeletal )
1.      Sikap Pekerja dan Posisi Kerja (Sikap Tubuh dalam Bekerja)
Posisi atau sikap tubuh dan cara kerja yang sesuai dengan aturan kerja adalah sikap dan cara kerja ergonomis. Pelaksanaan kerja biasanya menggunakan alat dan sarana kerja yang sesuai dan serasi dengan karakteristik tenaga kerja wanita yang menggunakan. Dengan demikian diusahakan agar semua pekerjaan harus selalu dilaksanakan dalam sikap kerja yang ergonomis (Soedirman, 1989).
Lebih lanjut soedirman (1989), bahwa sikap tubuh dalam bekerja harus memperhatikan (1) agar senantiasa diusahakan agar semua pekerjaan dilaksanakan dengan posisi duduk dan sikap berdiri dan posisi duduk secara bergantian, (2) segala posisi dan sikap tubuh yang tidak alamiah dihindari atau diusahakan agar beban kerja statis sekecil - kecilnya, (3) segala posisi dan sikap tubuh diusahakan untuk menghidari upaya yang tidak perlu.
2.                              Intensitas Kerja (Lama Bekerja)
Setiap perusahaan tentu memerlukan jam kerja yang berbeda - beda, hal ini dimaksudkan untuk mencapai tujuan perusahaan secara optimal dan menjaga kesejahteraan karyawan. Menurut Undang - Undang setiap perusahaan wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja bagi pekerja yang dipekerjakan. Waktu kerja yang dimaksud meliputi waktu kerja siang hari yaitu 7 - 8 jam dalam sehari (UU No. 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan, pasal 100).
3.      Kesempatan Beristirahat
Setiap pekerja berhak untuk mendapatkan waktu istirahat kerja. Waktu istirahat kerja sebagaimana dimaksud meliputi: Istirahat antara jam kerja, sekurang - kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 jam terus menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja (UU No. 25 Tahun 1997, Pasal 102).
4.                              Pendidikan (Pengetahuan)
Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengetahuan di dalam domain kognitif (Notoatmodjo, 2001).
Pengetahuan identik dengan pendidikan, pengetahuan yang rendah sekali dikarenakan oleh rendahnya pendidikan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behavior), karena pengetahuan akan lebih langgeng dan bermanfaat dari pada perilaku yang tidak didasari akan pengetahuan itu sendiri (Notoatmodjo, 2003).
5.      Jenis Kelamin
Jenis kelamin juga berhubungan terhadap nyeri otot kerja yang dirasakan, perempuan lebih cepat mengalami lelah dibandingkan laki - laki hal ini disebabkan karena daya tahan tubuh laki - laki lebih lama dibandingkan dengan perempuan (Anief, 1992).
Biasanya selama umur subur, wanita rawan terhadap bahaya kesehatan reproduksi risiko yang juga ditanggung dan wanita akan mengalami peningkatan risiko terkena hipertensi setelah masa menopause yaitu sekitar umur 45 tahun ke atas.
6.   Umur
Sesuai dengan pasal 2 ayat 1 Konvensi Indoneisia bahwa batas umur minimum untuk diperbolehkan bekerja yang diberlakukan di wilayah Indoneisa adalah umur 15 tahun, sedangkan untuk pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak harus diupayakan tidak boleh kurang dari 18 tahun kecuali untuk pekerjaan ringan tidak boleh kurang dari 16 tahun (UU RI No.25 tahun 1997).
Umur dapat juga menyebabkan orang dapat dengan mudah mengalami nyeri otot kerja hal ini dikarenakan semakin tua umur seseorang maka ketahanan tubuhnya terhadap beban kerja semakin rendah sehingga mudah sekali mengalami nyeri otot kerja. Umur yang rentan terhadap nyeri otot kerja adalah > 50 tahun (Anief, 1992).

No comments:

Post a Comment

Tampilan arsip Teratas

PSEA (Protection from Sexual Exploitation and Abuse)

PERKENALAN PSEA (Protection from Sexual Exploitation and Abuse) Dalam semua konteks di mana lembaga atau organisasi pembangunan dan/atau ban...

Tampilan Arsip Populer