Saturday, May 20, 2017

Pengukuran Kelelahan Kerja

1.    Pengukuran Kelelahan Kerja
Sampai saat ini belum ada cara untuk mengukur tingkat kelelahan secara langsung. Pengukuran-pengukuran yang dilakukan oleh para peneliti sebelumnya hanya berupa indikator yang menunjukkan terjadinya kelelahan akibat kerja. Grandjean (1993) dalam Hardi (2006), mengelompokkan metode pengukuran kelelahan dalam beberapa kelompok sebagai berikut:
a.    Kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan
Pada metode ini, kualitas output digambarkan sebagai jumlah proses kerja (waktu yang digunakan setiap item) atau proses operasi yang dilakukan setiap unit waktu. Namun demikian banyak faktor yang harus dipertimbangkan seperti: target produksi, faktor sosial, dan perilaku psikologis dalam kerja. Sedangkan kuantitas output (kerusakan produk, penolakan produk) atau frekuensi kecelakaan dapat menggambarkan terjadinya kelelahan, tetapi faktor tersebut bukanlah merupakan causal faktor (Hardi, 2006).
b.    Konsentrasi (pemeriksaan Bourdon Wiersma, uji KLT)
Pada metode ini konsentrasi merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menguji ketelitian dan kecepatan menyelesaikan pekerjaan. Bourdon Wiersma test, merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk menguji kecepatan, ketelitian dan konstansi. Hasil tes akan menunjukkan bahwa semakin lelah seseorang maka tingkat kecepatan, ketelitian dan konstansi akan semakin rendah atau sebaliknya. Namun demikian Bourdon Wiersma test lebih tepat untuk mengukur kelelahan akibat aktivitas atau pekerjaan yang lebih bersifat mental (Hardi, 2006).
c.    Uji fusi kelipan (flicker fusion test)
Dalam kondisi yang lelah, kemampuan tenaga kerja untuk melihat kelipan akan berkurang. Semakin lelah akan semakin panjang waktu yang diperlukan untuk jarak antara dua kelipan. Alat uji kelip memungkinkan mengatur frekuensi kelipan dan dengan demikian pada batas frekuensi mana tenaga kerja mampu melihatnya. Uji kelipan, di samping untuk mengukur kelelahan juga menunjukkan kadaan kewaspadaan tenaga kerja (Hardi, 2006).
d.    Waktu reaksi (Reaction Timer)
Sanders & McCormick (1987) dalam Santoso (2013:114) mengatakan bahwa reaction timer adalah waktu untuk membuat suatu respon yang spesifik saat stimulasi terjadi, waktu reaksi terpendek biasanya berkisar antara 150 s/d 200 mili detik.
Reaction timer adalah alat yang digunakan untuk mengukur jangka waktu dari pemberian suatu rangsang sampai kepada suatu kesadaran. Dalam pengukuran ini dapat digunakan jenis rangsang berupa nyala lampu, denting suara, sentuhan kulit atau goyangan badan. Terjadinya pemanjangan waktu reaksi merupakan petunjuk adanya perlambatan pada proses faal syaraf dan otot (Tarwaka, 2004 dalam Muizzudin, 2013).


Penelitian ini menggunakan alat reaction timer, pengukuran menggunakan reaction timer bertujuan untuk mengetahui kelelahan kerja. Adapun cara penggunaan alat reaction timer adalah sebagai berikut (Balai Hiperkes, 2015):
1)   Hubungkan alat dengan sumber tenaga
2)   Hidupkan dengan menekan tombol ON/OFF pada “ON”.
3)   Reset angka penampilan sehingga menunjukkan angka “0000” dengan menekan tombol “nol”.
4)   Pilih rangsang suara atau cahaya yang dikehendaki dengan menekan tombol “Suara” atau “Cahaya”,
5)   Subjek yang akan diperiksa diminta menekan tombol subjek (kabel hitam) dan diminta secepatnya menekan tombol setelah melihat cahaya atau suara dari sumber rangsang.
6)   Untuk memberikan rangsang, pemeriksa menekan tombol pemeriksa (kabel biru).
7)   Setelah diberi rangsang subjek menekan tombol maka pada layar kecil akan menunjukan angka waktu reaksi dengan “satuan mili detik”.
8)   Pemeriksaan diulangi 15 sampai 20 kali baik rangsang suara maupun cahaya.
9)   Data dan dianalisa (diambil rata-rata) yaitu skor hasil 10 kali pengukuran ditengah (5 kali pengukuran awal dan akhir dibuang)
10)    Catat keseluruhan hasil pada formulir.
11)    Setelah selesai pemeriksaan alat dimatikan dengan menekan tombol “ON/OFF” pada “OFF” dan melepas alat dari sumber tenaga.
B.       Produktivitas Kerja
Menurut Sedarmayanti (2009) dalam Hasibuan (2011) produktivitas kerja menunjukkan bahwa individu merupakan perbandingan dari efektivitas keluaran (pencapaian unjuk kerja maksimal) dengan efisiensi salah satu masukan (tenaga kerja) yang mencakup kuantitas, kualitas dalam waktu tertentu. Produktivitas kerja adalah suatu ukuran dari pada hasil kerja atau kinerja seseorang dengan proses input sebagai masukan dan output sebagai keluarannya yang merupakan indikator daripada kinerja karyawan dalam menentukan bagaimana usaha untuk mencapai produktivitas yang tinggi dalam suatu organisasi.
Menurut Hasibuan (2011), mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja dapat disimpulkan menjadi dua golongan yaitu:
1.      Faktor yang ada pada diri individu, yaitu umur, temperamen, keadaan fisik individu, kelelahan dan motivasi.
Faktor yang ada di luar individu, yaitu kondisi fisik seperti suara, penerangan, waktu istirahat, lama kerja, upah, bentuk organisasi, lingkungan sosial dan keluarga.

No comments:

Post a Comment

Tampilan arsip Teratas

PSEA (Protection from Sexual Exploitation and Abuse)

PERKENALAN PSEA (Protection from Sexual Exploitation and Abuse) Dalam semua konteks di mana lembaga atau organisasi pembangunan dan/atau ban...