Ringkasan Penelitian
Hubungan Riwayat Paparat Peptisida dengan Kejadian
Goiter pada Petani Hortikultura di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang
Dikutip dari hasil Karya Tulis Ilmiah
(Hendra Budi Sungkawa)
Disusun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah
Hyiegene Perusahaan :
Nama :
Mariatul (311.12.015)
Fakultas Kesehatan
Masyarakat
Universitas Nusa Tenggara
Barat
2015
A. Latar
belakang
Pertanian
di Indonesia merupakan sektor yang menyerap paling banyak tenaga kerja, hal ini
terlihat berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik (BPS) pertanian dari
sekitar 90 juta angkatan kerja yang berusia 15 tahun keatas. tahun 2001 yang
menunjukan bahwa sekitar 40 juta orang bekerja disektor, banyaknya tenaga kerja
yang bekerja di sektor itu tentunya memerlukan perhatian yang serius dari
pemerintah dalam hal keselamatan dan keamanan para tenaga kerja. Untuk
meningkatkan hasil di sektor pertanian perlu didukung beberapa sarana pertanian
Adapun sarana yang mendukung pertanian antara lain alat-alat pertanian, pupuk
buatan (Urea, TSP, NPK, Za dan sebagainya), bahan-bahan kimia tambahan,
termasuk pestisida.
Pestisida
atau Pest Killing Agent merupakan obat-obatan atau senyawa kimia yang
umumnya bersifat racun, digunakan untuk membasmi jasad pengganggu tanaman, baik
hama, penyakit maupun gulma. Penggunaan pestisida pada suatu lahan, merupakan
aplikasi dari suatu teknologi yang pada saat itu, diharapkan dapat membantu
meningkatkan hasil pertanian dan membuat biaya pengelolaan pertanian menjadi
lebih efisien dan ekonomis. Pemakaian pestisida biasanya dilakukan karena
adanya kekhawatiran petani akan adanya serangan hama yang dapat menurunkan
hasil pertaniannya.
Dampak
buruk pestisida ini bukan hanya mengenai petani atau pekerja yang menyemprot
pestisida saja, tetapi juga dapat mengenai keluarga dan tetangga di mana
kegiatan itu dilakukan. Keracunan pestisida dapat bersifat akut maupun kronis.
Keracunan pestisida yang akut ada yang bersifat lokal ada juga yang bersifat
sistemik. Keracunan pestisida yang bersifat sistemik dapat menyerang sistem
syaraf, hati atau liver, perut, sistem kekebalan dan eracunan pestkeseimbangan
hormonal.
Keracunan pestisida dapat ditemukan dengan
memeriksa aktifitas cholinesterase dalam darah. Faktor yang berpengaruh
terhadap kejadian keracunan pestisida meliputi beberapa faktor antara lain,
umur, tingkat pendidikan, masa kerja, lama kerja per hari, jenis pestisida,
dosis pestisida, frekuensi penyemprotan, waktu penyemprotan, arah angin waktu
penyemprotan dan penggunaan alat pelindung diri (APD).
Penelitian
terhadap hewan menunjukan bahwa pestisida mempengaruhi produksi hormon dalam
tubuh. Hormon adalah bahan kimia yang diproduksi oleh organ-organ seperti otak,
tiroid, paratiroid, ginjal, adrenalin, testis dan ovarium untuk mengontrol
fungsi-fungsi tubuh yang penting. Beberapa pestisida mempengaruhi hormon
reproduksi yang dapat menyebabkan penurunan produksi sperma pada pria atau
pertumbuhan telur yang tidak normal pada wanita. Beberapa pestisida dapat
menyebabkan pembesaran tiroid yang akhirnya kanker tiroid.
Prevalensi
gangguan akibat kekurangan Iodium (GAKI) di Jawa Tengah berdasarkan hasil
survey pemetaan yang dilakukan UNDIP bekerja sama dengan Direktorat Gizi
Masyarakat pada tahun 2003 menunjukan angka rata-rata Jawa Tengah 6,58% dan
evaluasi GAKI yang dilakukan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah yang bekerja
sama dengan Balai Litbang GAKI Borobudur Magelang pada daerah endemis pada
tahun 2004 dengan jumlah sampel yang dikembangkan hingga ditingkat kecamatan
menunjukan angka prevalensi goiter Jawa Tengah adalah 9,68% yang berarti
termasuk dalam status endemik ringan. Salah satu kabupaten yang termasuk daerah
endemik goiter itu adalah Kabupaten Magelang.
Survey
awal menunjukan bahwa dari 100 petani di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang
yang diperiksa secara palpasi, didapat prevalensi goiter di Kecamatan Ngablak
mencapai 17,5%. Kondisi ini tentu jauh di atas nilai prevalensi goiter untuk
Provinsi Jawa Tengah.x Dari penelitian yang dilakukan oleh Sumarni pada daerah
endemik gondok diperoleh hasil prevalensi gondok pada ibu menyusui sebesar
48,21% dan prevalensi gondok pada anak usia dibawah dua tahun sebesar 8,93%.
Mengingat
banyaknya penggunaan pestisida dan goiter di Kecamatan Ngablak Kabupaten
Magelang, maka penting sekali didapatkan informasi tambahan mengenai hubungan
antara pestisida dengan goiter pada petani hortikultura. Atas dasar itulah
perlu dilakukan penelitian dengan judul : “ Hubungan riwayat paparan pestisida
dengan kejadian goiter pada petani hortikultura di Kecamatan Ngablak Kabupaten
Magelang “.
B.
Perumusan Masalah.
Identifikasi Masalah sebagai berikut :
1. Ketergantungan
para petani hortikultura terhadap pestisida yang berjumlah sebanyak 16.237 jiwa
(66,3%) dari semua petani yang ada diKecamatan Ngablak diyakini sangat
berpotensial untuk menimbulkan dampak kesehatan
2. Adanya
kecenderungan penggunaan pestisida dengan dosis yang tinggi dan terus menerus
terutama dilakukan setelah hujan
3. Menurut
laporan kegiatan pemeriksaan aktifitas Cholinesterase darah terhadap 50
sampel di kecamatan Ngablak terdapat 49 orang (98 %)mengalami
keracunan.Kejadian gondok tidak dilaporkan secara rutin, kalaupun ada bersifatinsidental
4. Terjadi
peningkatan kasus goiter, pada tahun 2003 sebesar 6,58% dantahun 2004 menjadi
9,68%
5. Berdasarkan
survey awal didapatkan prevalensi goiter
dikecamatan Ngablak Kabupaten Magelang mencapai 17,5% Sehubungan dengan
kasus di atas, maka pertanyaan penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan
antara riwayat paparan pestisida dengan kejadian goiter pada petani
hortikultura di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang ? “
C. Tujuan
Penelitian
a. Tujuan
Umum
Mengetahui
hubungan antara paparan pestisida dengan kejadian goiter petani hortikultura di
kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang
b. Tujuan
Khusus
1. Mengidentifikasi
karateristik petani (Umur, Tingkat pendidikan,Masa kerja, lama bekerja per
hari, Tingkat pendidikan)
2. Mengidentifikasi
jenis pestisida, dosis pestisida yang digunakan,frekuensi penyemprotan, waktu
penyemprotan, posisi petaniterhadap arah angin waktu penyemprotan , penggunaan
APD dankejadian goiter
3. Menganalisis
besar risiko faktor umur dan tingkat pendidikandengan kejadian goiter
4. Menganalisis
besar risiko faktor masa kerja dan lama kerja dengankejadian goiter
A. Pengertian
tentang pestisida
Kata
pestisida berasal dari dua kata yakni, ”pest” memiliki arti hama, dan ”cide”
yang berarti membunuh. Pestisida sering disebut ”Pest Killing Agent”.Pestisida
adalah semua bahan yang digunakan untuk membunuh, mencegah,mengusir, mengubah
hama atau bahan yang digunakan untuk merangsang,mengatur serta mengendalika tumbuhan.Menurut
Darmono, pestisida adalah semua bahan kimia untuk membunuh hama (insekta, jamur
dan gulma), sehingga pestisida dikelompokkan sebagai :
1. Insektisida
(pembunuh insekta)
2. Fungisida
( pembunuh jamur)
3. Herbisida
(pembunuh tanaman pengganggu)
Pestisida
telah secara luas digunakan untuk tujuan memberantas hama dan penyakit tanaman
dalam bidang pertanian. Pestisida juga digunakan di rumah tangga untuk memberantas
nyamuk, kepinding, kecoa dan berbagai serangga penganggu lainnya. Di lain pihak
pestisida ini secara nyata banyak menimbulkan keracunan pada orang. Kematian
yang disebabkan oleh keracunan pestisida banyak dilaporkan baik karena
kecelakaan waktu menggunakannya, maupun karena disalah gunakan (untuk bunuh
diri). Dewasa ini bermacam-macam jenis pestisida telah diproduksi dengan usaha
mengurangi efek samping yang dapat menyebabkan berkurangnya daya toksisitas
pada manusia, tetapi sangat toksik pada serangga.
B. Klasifikasi
Pestisida
Pestisida
dapat digolongkan menurut penggunaannya dan disubklasifikasi menurut jenis
bentuk kimianya. Dari bentuk komponen bahan aktifnya maka pestisida dapat
dipelajari efek toksiknya terhadap manusia maupun makhluk hidup lainnya dalam
lingkungan yang bersangkutan.
1. Organofosfat
Lebih
dari 50.000 komponen organofosfat telah disintesis dan diuji untuk aktivitas insektisidanya.
Tetapi yang telah digunakan tidak lebih dari 500 jenissaja dewasa ini. Semua
produk organofosfat tersebut berefek toksik bila terjadi kontak dengan manusia.
Beberapa jenis insektisida digunakan untuk keperluan medis misalnya
fisostigmin, edroprium dan neostigmin yang digunakan untukaktivitas
kholinomimetik (efek seperti asetylcholine). Obat tersebut digunakan untuk
pengobatan gangguan neuromuskuler seperti myastinea gravis. Fisostigmin juga
digunakan untuk antidotum pengobatan toksisitas ingesti dari substansi antikholinergik
(misalnya: trisyklik anti depressant, atrophin dan sebagainya).Fisostigmin,
ekotiopat iodide dan organophosphorus juga berefek langsung untuk mengobati
glaucoma pada mata yaitu untuk mengurangi tekanan intraokuler pada bola
mata.Beberapa contoh pestisida yang termasuk ke dalam golongan organofosfat antara
lain : Azinophosmethyl Azinophosmethyl, Chloryfos, Demeton
Methyl,Dichlorovos, Dimethoat, Disulfoton, Ethion, Palathion, Malathion,
Parathion,Diazinon, Chlorpyrifos.
2. Karbamat
Insektisida
karbamat berkembang setelah organofosfat.
3. Organoklorin
Organoklorin
atau disebut “Chlorinated hydrocarbon” terdiri dari beberapa kelompok
yang diklasifikasi menurut bentuk kimianya. Yang paling populer dan pertama
kali disinthesis adalah “Dichloro-diphenyl-trichloroethan” atau disebut
DDT.
C. Dampak
penggunaan pestisida terhadap kesehatan
Besarnya
bahaya yang dapat ditimbulkan oleh pestisida harus dibedakan dengan toksisitas
absolutnya. Toksisitas dinyatakan oleh LD50 dari senyawa yang bersangkutan,
Untuk menentukan besarnya bahaya pestisida harus dinilai lain dan tidak hanya
ditentukan LD50, tetapi banyak faktor luar sewaktu manusia menggunakaan bahan
pestisida tersebut.
Pemakaian
pestisida dalam jumlah besar akan melibatkan manusia dalam jumlah besar pula.
Keadaan ini akan menimbulkan banyak manusia yang terpapar pestisida, mulai dari
proses produksi, pemasaran, distribusi hingga ke pengguna. Bahaya potensial
penggunaan pestisida ada dua macam yaitu :
1. Bahaya
potensial yang diakibatkan oleh paparan secara langsung terhadap bahaya
pestisida, mulai dari formulating plant sampai ke tingkat pengguna
2. Bahaya
potensial secara tidak langsung, dimana setelah pestisida diaplikasikan
penggunaannya, banyak residu-residu pestisida yang akan mencemari lingkungan
yang akhirnya juga berpengaruh terhadap kesehatan manusia.
D.Keracunan
Pestisida
Keracunan
pada tubuh dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni :
1. Sifat
fisik bahan kimia, dapat berupa debu, uap, asap, fume atau bentuk lainnya
2. Dosis
pestisida yang masuk kedalam tubuh
3. Sifat
kimia pestisida, jenis persenyawaan, kelarutan dalam jaringan tubuh, jenis
larutan
4. Jalan
masuk kedalam tubuh, dapat melalui inhalasi, ingesti, kontak kulit dan selaput
lendir
5. Faktor
individu; yang berupa usia, jenis kelamin, daya tahan tubuh, kebiasaan,
nutrisi, genetik.
Penatalaksanaan pestisida adalah
sebagai suatu bentuk teknik tata laksana yang berkaitan erat dengan keamanan
dan ketepatan pemakaian dari tingkat produksi sampai dengan penggunaan
ditingkat konsumen. Ada tiga efek pestisida terhadap kesehatan yaitu : akut lokal,
akut sistemik dan kronis.
D. Gejala-gejala
keracunan pestisida
Pestisida
dibedakan berdasarkan cara masuk kedalam tubuh yaitu melalui :
1. Mulut
(per oral – ingesti)
2. Saluran
pernafasan (inhalasi)
3. Dubur,
vagina
4. Kulit
HASIL
PENELITIAN
A. Gambaran Umum Daerah Penelitian
1. Gambaran Umum
Wilayah Kecamatan
Ngablak secara geografis sebagian besarterletak di lereng gunung Merbabu yang
termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Magelang, mempunyai luas wilayah 43,8 km2.Wilayah
Kecamatan Ngablak mempunyai batas, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan
Pakis, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Grabag dan sebelah timur dan
utara berbatasan dengan Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Letak geografis
Kecamatan Ngablak berada pada 110o20’30” – 110o26’20” BT dan 07o20’34”
-07o26’30” LS dengan ketinggian berkisar antara 1000 – 3000 m dpl. Curah
hujan per tahun
berkisar 181.620 mm dan suhu udara berkisar antara 20 –25oC serta kandungan
Iodium dalam air tanah (sumur dan air gunung)berkisar antara 0 – 9 ppm.
Kecamatan Ngablak
terbagi dalam 16 pemerintahan desa dengan jumlah penduduk sebesar 40.283 jiwa.
Sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah petani yakni berkisar 24.489
jiwa dan dari jumlah itu 16.237 diantaranya adalah petani hortikulutra yang
tergabung dalam 93 kelompok tani. Luas lahan yang dipergunakan untuk kegiatan
pertanian hortikultura kurang lebih 3064 hektar dengan tingkat kemiringan lahan
berkisar 30 – 40 %. Jenis tanaman yang diusahakan oleh petani antara
lain:cabai, tomat, labu siam, wortel, kubis, kacang panjang dan berbagai jenis sayur-sayuran.Upaya
peningkatan hasil pertanian dilakukan dengan cara intensifikasi pertanian,
salah satu upayanya adalah dengan pemberantasan hama menggunakan pestisida.
Penggunaan pestisida oleh petani di Kecamatan Ngablak biasanya meningkat dengan
seiringnya musim penghujan. Kegiatan penyemprotan biasanya dilakukan setelah
hujan,Semakin sering hujan turun semakin sering petani melakukan kegiatan penyemprotan.
2.
Kondisi Kesehatan
Sarana kesehatan
pemerintah yang ada di Kecamatan Puskesmas, 3 Puskesmas Pembantu dan 13 buah
Pondok Bersalin Desa ( 10 baik dan 3 rusak). Angka kematian bayi di Kecamatan Ngablak
berdasarkan data dari Puskesmas sebesar 5,74 per 1000kelahiranbayi hidup,
sedangkan angka kematian ibu sebesar 5,68 per 1000 ibu nifas.Hasil pemeriksaan
TSH pada 7 penderita gondok didapat hasil rata-rata sebesar 0,217. Laporan
tersebut belum menggambarkan keadaan yang sesungguhnya, disebabkan tidak semua
peristiwa tercatat dan terlaporkan.Sarana kesehatan yang ada di Kecamatan
Ngablak dilayani oleh 16 orang bidan, 7 orang perawat, 1 orang tenaga farmasi,
1 orang tenaga gizi,1 orang tenaga sanitarian, 2 orang sarjana kesehatan
masyarakat dan 2orang dokter.jumlah rumah penduduk yang memenuhi persyaratan
kesehatan berkisar 49,82 % dan jumlah penduduk yang mempunyai akses/memiliki persediaan
air bersih sebanyak 78,05%. Tempat pengelolaan pestisida
(TP2) yang
memenuhi persyaratan sebanyak 45,12%, tempat pengelolaan makanan (TPM) yang
memenuhi syarat sebanyak 59,87% dan tempattempat umum yang memenuhi syarat
sebanyak 74,48%.
3.
Pestisida dan Penggunaannya
Keberadaaan
dan penggunaan pestisida oleh petani di Kecamatan Ngablak telah berlangsung
sejak tahun 1970 an. Pestisida dijadikan bahan yang utama bagi petani dalam
rangka pengendalian hama, karena upaya yang lain belum dikuasai atau bahkan
tidak mereka kenal. Penggunaan pestisida sering tidak proporsional terutama
bila terjadi serangan hama
atau setelah
hujan, petani akan segera melakukan kegiatan penyemprotan setelah turun hujan,
kondisi ini sering diperparah dengan ketidak pedulian mereka tentang bahaya
pestisida yang dapat meracuni petani, keluarga dan lingkungannya.
B.Hasil
analisis hubungan riwayat paparan pestisida dengan kejadian goiter
Analisis
bivariat yang dilakukan terhadap faktor risiko kejadian goiter bertujuan untuk
memperoleh gambaran besar risiko faktor-faktor tersebut terhadap timbulnya kejadian
goiter pada responden secara bivariat, tanpa mempertimbangkan adanya
variabel-variabel yang lain. Analisis dilakukan dengan membuat tabel silang (crosstab)
sehingga dapat dihitung crude OR(odds ratio) dari faktor risiko
tersebut.
1.
Hubungan umur terhadap kejadian goiter
Semakin lama
seseorang hidup, semakin bertambah umurnya dan semakin banyak pula pemaparan
yang dialaminya. Hubungan faktor risiko umur dengan kejadian goiter dapat
dilihat pada Table 4.2.Tabel 4.2. Faktor risiko umur dalam menimbulkan kejadian
goiter Umur Kejadian Goiter Ya % Tidak % >= 40 tahun 46 67,6 24 35,3
< 40 tahun 22
32,4 44 64.7 Jumlah 68 100,0 68 100,0 Nilai p = 0,001 OR = 3,83 95 % CI = 1,88
– 7,81.Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 4.2, dari 68 responden kelompok
yang mengalami kejadian goiter, 67,6 % berumur lebih dari atau sama dengan 40
tahun. Sedangkan dari kelompok yang tidak mengalami kejadian goiter, 35,3,%
berumur lebih dari atau sama dengan 40 tahun.Analisis bivariat hubungan antara
umur dengan kejadian goiter didapat nilai p sebesar 0,001 maka secara statistik
dikatakan ada hubungan yang signifikan
antara umur petani dengan kejadian goiter. Hasil perhitungan odds ratio(OR)
diperoleh nilai sebesar 3,83 ( 95 % CI = 1,88 — 7,81). Dari hasil tersebut
dapat dikatakan bahwa petani yang berumur lebih dari atau sama dengan 40 tahun
mempunyai risiko untuk terkena kejadian goiter 3,83 kali lebih dibandingkan
dengan petani yang berumur kurang dari 40 tahun.
2.
Hubungan Jenis pestisida terhadap kejadian goiter
Penggunaan
pestisida campuran lebih berbahaya dari pada penggunaan dalam bentuk tunggal,
hal ini berkaitan dengan kandungan zat aktif yang ada dalam petisida tersebut.
Hubungan faktor jenis pestisida dengan kejadian goiter dapat dilihat pada Table
4.6.
Tabel 4.6. Faktor
risiko jenis pestisida dalam menimbulkan kejadian goiter Jenis Pestisida
Kejadian Goiter Ya % Tidak % Campuran 41 (60,3%) 14 (20,6%) Tunggal 27 (39,7%)
54 (79,4%) Jumlah 68 100,0 68 100,0 Nilai p = 0,001 OR = 5,86 95 % CI = 2,73 –
12,56.Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 4.6, dari 68 responden kelompok
yang mengalami kejadian goiter, 60,3 % menggunakan pestisida campuran.
Sedangkan dari kelompok yang tidak mengalami kejadian goiter, 20,6 %
menggunakan pestisida campuran.Analisis bivariat hubungan antara jenis
pestisida dengan kejadian goiter didapat nilai p sebesar 0,001 maka secara
statistik dikatakan ada hubungan yang signifikan antara jenis pestisida dengan
kejadian goiter. Hasil perhitungan odds ratio(OR) diperoleh nilai
sebesar 5,86 (95 % CI = 2,73 —12,56). Dari hasil tersebut dapat
dikatakan bahwa petani yang menggunakan jenis pestisida campuran mempunyai
risiko untuk terkena kejadian goiter 5,86 kali lebih dibandingkan dengan petani
yang menggunakan jenis pestisida tunggal.
3.
Hubungan dosis pestisida terhadap kejadian goiter
Penggunaan
pestisida yang tidak memperhatikan takaran yang dianjurkan memungkinkan terjadi
pemaparan yang lebih kuat. Hubungan faktor dosis pestisida dengan kejadian
goiter dapat dilihat pada Table 4.7. Tabel 4.7. Faktor risiko dosis pestisida
dalam menimbulkan kejadian goiterDosis Pestisida Kejadian Goiter Ya % Tidak % Tidak
Sesuai 28 (41,2%) 13 (19,1%) Sesuai 40 (58,8%) 55 (80,9%) Jumlah 68 100,0 68
100,0 Nilai p = 0,009 OR = 2,96 95 % CI = 1,37 – 6,42 .Berdasarkan hasil
perhitungan pada tabel 4.7., dari 68 responden kelompok yang mengalami kejadian
goiter, 41,2% menggunakan dosis pestisida yang tidak sesuai. Sedangkan dari
kelompok yang tidak mengalami kejadian goiter, 19,1% menggunakan dosis
pestisida yang tidak sesuai.Analisis bivariat hubungan antara jenis pestisida
dengan kejadian goiter didapat nilai p sebesar 0,009 maka secara statistik
dikatakan ada hubungan yang signifikan antara dosis pestisida dengan kejadian
goiter. Hasil perhitungan odds ratio(OR) diperoleh nilai sebesar 2,96
(95 % CI = 1,37 —6,42). Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa petani
yang menggunakan dosis pestisida yang tidak sesuai mempunyai risiko untuk
terkena kejadian goiter 2,96 kali lebih dibandingkan dengan petani yang menggunakan
sesuai dengan dosis pestisida.
4. Hubungan lama
kerja per hari terhadap kejadian goiter
Semakin
lama kerja seorang petani dalam satu hari maka akan semakin banyak pula
kemungkinan untuk terjadi kontak dengan pestisida Hubungan faktor risiko lama
kerja per hari dengan kejadian goiter dapat dilihat pada Table 4.5 Tabel 4.5.
Faktor risiko lama kerja per hari dalam menimbulkan kejadian goiter Lama kerja
per hari Kejadian Goiter Ya % Tidak >=
6 jam 53 (77,9%) 40 (58,8%) < 6 jam 15 (22,1%) 28 (41,2%) Jumlah 68 100,0 68
100,0 Nilai p = 0,027 OR = 2,47 95 % CI = 1,17 – 5,23 .Berdasarkan hasil
perhitungan pada tabel 4.5, dari 68 responden kelompok yang mengalami kejadian
goiter, 77,9 % mempunyai lama kerja per hari lebih dari atau sama dengan 6 jam.
Sedangkan dari kelompok yang tidak mengalami kejadian goiter, 58,8 % mempunyai
lama kerja per hari lebih dari atau sama dengan 6 jam. Analisis bivariat
hubungan antara lama keja per hari dengan kejadian goiter didapat nilai p
sebesar 0,027 maka secara statistik dikatakan ada hubungan yang signifikan
antara masa kerja petani dengan kejadian goiter. Hasil perhitungan odds ratio(OR)
diperoleh nilai sebesar 2,47 (95 % CI = 1,17 — 5,23).
unakan
dosis pestisida yang tidak sesuai. Analisis bivariat hubungan antara jenis
pestisida dengan kejadian goiter didapat nilai p sebesar 0,009 maka secara
statistik dikatakan ada hubungan yang signifikan antara dosis pestisida dengan
kejadian goiter. Hasil perhitungan odds ratio(OR) diperoleh nilai
sebesar 2,96 (95 % CI = 1,37 — 6,42). Dari hasil tersebut dapat
dikatakan bahwa petani yang menggunakan dosis pestisida yang tidak sesuai
mempunyai risiko untuk terkena kejadian goiter 2,96 kali lebih dibandingkan
dengan petani yang menggunakan sesuai dengan dosis pestisida.
5. Hubungan frekuensi penyemprotan
terhadap kejadian goiter
Semakin
sering petani melakukan kegiatan penyemprotan dengan menggunakan pestisida akan semakin besar pemaparan yang terjadi. Hubungan
faktor frekuensi penyemprotan dengan kejadian goiter dapat dilihat pada Table
4.8. Tabel 4.8. Faktor risiko frekuensi penyemprotan dalam menimbulkan kejadian
goiter Frekuensi penyemprotan Kejadian Goiter Ya % Tidak % > 1 kali per
minggu 48 (70,6%) 23 (33,8%) < = 1 kali per minggu 20 (29,4%) 45 (66,2%) Jumlah
68 100,0 68 100,0 Nilai p = 0,001 OR = 4,69 95 % CI = 2,28 – 9,69Berdasarkan
hasil perhitungan pada tabel 4.8, dari 68 responden kelompok yang mengalami
kejadian goiter, 70,6% melakukan kegiatan penyemprotan lebih dari 1 kali per
minggu. Sedangkan dari kelompok yang tidak mengalami kejadian goiter, 33,8%
melakukan kegiatan penyemprotan lebih dari 1 kali per minggu. Analisis bivariat
hubungan antara jenis pestisida dengan kejadian goiter didapat nilai p sebesar
0,001 maka secara statistik dikatakan ada hubungan yang signifikan antara
frekuensi penyemprotan dengan kejadian goiter. Hasil perhitungan odds ratio(OR)
diperoleh nilai sebesar 4,69 (95 % CI = 2,28 — 9,69). Dari hasil
tersebut dapat dikatakan bahwa petani yang melakukan kegiatan penyemprotan
lebih dari 1 kali per minggu mempunyai
risiko untuk terkena kejadian goiter 4,69 kali lebih dibandingkan dengan petani
yang melakukan kegiatan penyemprotan kurang dari atausama dengan 1 kali per minggu.
6. Hubungan waktu penyemprotan
terhadap kejadian goiter
Waktu
dalam melakukan kegiatan penyemprotan berkaitan dengan suhu lingkungan, yang
mana dapat membuat pengeluaran keringat lebih banyak pada siang hari, sehingga
kemungkinan penyerapan pestisida melalui kulit lebih mudah. Hubungan faktor
waktu penyemprotan dengan kejadian goiter dapat dilihat pada Table 4.9. Tabel
4.9. Faktor risiko waktu penyemprotan dalam menimbulkan kejadian goiter Waktu
penyemprotan Kejadian Goiter Ya % Tidak % Tidak tentu 1 (1,5%) 2 (2,9%) Pagi 67
(98,5%) 66 (97,1%) Jumlah 68 100,0 68 100,0 Nilai p = 1,000 OR = 0,49 95 % CI =
0,04 – 5,56 Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 4.9., dari 68 responden kelompok
yang mengalami kejadian goiter, 1,5% melakukan kegiatan penyemprotan pada waktu
yang tidak tentu. Sedangkan dari kelompok
yang
tidak mengalami kejadian goiter, 2,9% melakukan kegiatan penyemprotan
pada waktu yang tidak tentu. Analisis bivariat hubungan antara jenis pestisida
dengan kejadian goiter didapat
nilai p sebesar 1,000 maka secara statistik dikatakan tidak ada
hubungan
yang signifikan antara waktu penyemprotan dengan kejadian goiter.
Hasil
perhitungan odds ratio(OR) diperoleh nilai sebesar 0,49 (95 % CI =
0,04
— 5,56).
7.
Hubungan Posisi Petani Terhadap Arah Angin dengan kejadian goiter
Posisi
petani terhadap arah angin penting sekali untuk diperhatikan berkaitan dengan
kemungkinan terjadi pemaparan yang lebih kuat bila penyemportan dilakukan
berlawanan dengan arah angin. Hubungan faktor risiko posisi petani terhadap
arah angin dengan kejadian goiter dapat dilihat pada Table 4.10. Tabel 4.10.
Faktor risiko posisi petani terhadap arah angin dalam menimbulkan kejadian
goiter Posisi petani terhadap arah Kejadian Goiter angin Ya % Tidak % Tidak
memperhatikan 56 (82,4%) 41 (60,3%) Memperhatikan 12 (17,6%) 27 (39,7%) Jumlah
68 100,0 68 100,0 Nilai p = 0,008 OR = 3,07 95 % CI = 1,39 – 6,77 Berdasarkan
hasil perhitungan pada tabel 4.10., dari 68 responden kelompok yang mengalami
kejadian goiter, 82,4% melakukan kegiatan penyemprotan dengan tidak
memperhatikan arah angin. Sedangkan dari kelompok yang tidak mengalami kejadian
goiter, 60,3% melakukan kegiatan penyemprotan dengan tidak memperhatikan arah
angin. Analisis bivariat hubungan antara jenis pestisida dengan kejadian goiter
didapat nilai p sebesar 0,008 maka secara statistik dikatakan ada hubungan yang
signifikan antara Posisi petani terhadap arah angin dengan kejadian goiter.
Hasil perhitungan odds ratio(OR) diperoleh nilai sebesar 3,07 (95 % CI =
1,39 — 6,77). Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa petani yang melakukan
kegiatan penyemprotan yang posisinya terhadap arah angin tidak tentu mempunyai
risiko untuk terkena kejadian goiter 3,07 kali lebih dibandingkan dengan petani
yang melakukan kegiatan penyemprotan searah dengan arah angin.
8. Hubungan Penggunaan Alat Pelindung Diri
terhadap kejadian goiter
Penggunaan
alat pelindung diri merupakan proteksi untuk mencegakecelakaan akibat kerja,
termasuk terjadinya keracunan pestisida pada petani waktu melakukan kegiatan penyemprotan. Hubungan faktor risiko
penggunaan alat pelindung diri dengan kejadian goiter dapat dilihat pada Table
4.11. Tabel 4.11. Faktor risiko penggunaan alat pelindung diri dalam
menimbulkan kejadian goiter Penggunaan Alat Pelindung Kejadian Goiter Diri Ya %
Tidak % Tidak lengkap 46 (67,6%) 27 (39,7%) Lengkap 22 (32,4%) 41 (60,3%) Jumlah
68 100,0 68 100,0 Nilai p = 0,002 OR = 3,18 95 % CI = 1,56 – 6,41 Berdasarkan
hasil perhitungan pada tabel 4.11., dari 68 responden kelompok yang mengalami
kejadian goiter, 67,6% alat pelindung
diri yang tidak lengkap. Sedangkan dari kelompok yang tidak mengalami kejadian
goiter, 39,7% menggunakan alat pelindung diri yang tidak lengkap. Analisis
bivariat hubungan antara penggunaan alat pelindung diri dengan kejadian goiter
didapat nilai p sebesar 0,002 maka secara statistik dikatakan ada hubungan yang
signifikan antara penggunaan alat pelindung diri dengan kejadian goiter. Hasil
perhitungan odds ratio(OR) diperoleh nilai sebesar 3,18 (95 % CI = 1,56 —
6,41).
9.Hubungan
tingkat pendidikan terhadap kejadian goiter
Pengetahuan yang diperoleh
melalui pendidikan formal juga akan memberikan pengaruh terhadap kemampuan
adaptasi seseorang, serta lebih mudah menerima pesan-pesan yang disampaikan,
sehingga penanganan /pengelolaan pestisida juga akan lebih baik. Hubungan
faktor risiko tingkat pendidikan dengan kejadian goiter dapat dilihat pada
Table 4.3. Tabel 4.3. Faktor risiko tingkat pendidikan dalam menimbulkan
kejadian goiter Tingkat pendidikan Kejadian Goiter Ya % Tidak % Rendah 65
95,6%) 67 (98,5%) Tinggi 3 4,4%) 1 (1,5%) Jumlah 68 100,0 68 100,0
Nilai p = 0,612 OR = 0,32 95 % CI =
0,03 – 3,19 .Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 4.3., dari 68 responden kelompok
yang mengalami kejadian goiter, 95,6 % mempunyai tingkat pendidikan yang
rendah. Sedangkan dari kelompok yang tidak mengalami kejadian goiter, 98,5 %
mempunyai tingkat pendidikan yang rendah. Analisis bivariat hubungan antara
umur dengan kejadian goiter didapat nilai p sebesar 0,612 maka secara statistik
dikatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan petani
dengan kejadian goiter. Hasil perhitungan odds ratio(OR) diperoleh nilai
sebesar 0,32 (95 % CI = 0,03 — 3,19).
10.Hubungan
masa kerja terhadap kejadian goiter
Semakin lama masa
kerja seorang petani maka akan semakin banyak pula kemungkinan untuk terjadi
kontak dengan pestisida. Hubungan faktor risiko masa kerja dengan kejadian
goiter dapat dilihat pada Table 4.4. Tabel 4.4. Faktor risiko masa kerja dalam
menimbulkan kejadian goiter Masa kerja Kejadian Goiter Ya % Tidak % > 10
tahun 66 (97,1%) 49 (72,1%) <= 10 tahun 2 (2,9%) 19 (27,9%) Jumlah 68 100,0
68 100,0 Nilai p = 0,001 OR = 12,79 95 % CI = 2,85 – 57,53 Berdasarkan hasil
perhitungan pada tabel 4.4, dari 68 responden kelompok yang mengalami kejadian
goiter, 97,1 % mempunyai masa kerja lebih dari 10 tahun.
PEMBAHASAN
Sesuai
dengan tujuan penelitian, yang dibahas dalam bab ini adalah faktor-faktor risiko
yang berhubungan dengan kejadian goiter. Data yang dianalisis adalah data
sekunder dan data hasil observasi di lapangan yang diharapkan dapat memberikan
penjelasan tentang faktor-faktor risiko tersebut.Berdasarkan hasil analisis
bivariat diketahui bahwa dari 10 variabel yang dianalisis, 8 variabel
menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara variabel- variabel bebas dengan
kejadian goiter. Variabel-variabel tersebut adalah umur, masa kerja, lama kerja
per hari, jenis pestisida, dosis pestisida, frekuensi penyemprotan, posisi
petani terhadap arah angin dan penggunaan alat pelindung diri dengan nilai
risiko (OR) berkisar antara 1,09 hingga 26,33. Dari hal tersebut dapat
dikatakan bahwa variabel-variabel itu memungkinkan untuk terjadi keracunan pestisida
yang pada akhirnya menimbulkan kejadian goiter.Faktor risiko tingkat pendidikan
dan waktu menyemprot tidak memberikan hubungan yang bermakna, dilihat dari p-value
sebesar 0,612 dan 1,000 dan dilihat dari nilai Odds Rationya juga
menunjukan mempunyai risiko di bawah 1, hal ini berkaitan dengan tingkat
pendidikan formal yang di lalui oleh responden belum tentu menunjukan tingkat
pengetahuan yang sebenarnya tentang pestisida, banyakpengetahuan tentang pestisida justru
didapat melalui kegiatan-kegiatan penyuluhan dan pelatihan yang khusus untuk
hal tersebut, dan khusus untuk petani hortikultura di Kecamatan Ngablak
pelatihan tentang penanganan pestisida sudah tidak dilakukan lebih dari 5 tahun
terakhir. Sebanyak 97,8 % Petani hortikultura di Kecamatan Ngablak melakukan
kegiatan penyemprotan di waktu pagi hari, ini sesuai dengan teori yang
menganjurkan bahwa kegiatan penyemprotan sebaiknya dilakukan pada pagi hari
dengan suhu berkisar 25 oC.Berdasarkan hasil analisis regresi logistik dimulai
dari pemilihan variabel terpilih ke analisis multivariat sampai ke model akhir,
maka diketahui faktor risiko yang berkontribusi terhadap kejadian goiter
terdiri dari faktor risiko masa kerja, lama kerja per hari, jenis pestisida,
frekuensi penyemprotan, posisi petani terhadap arah angin dan penggunaan alat
pelindung diri dengan nilai p sebesar 33,78%. Hal ini berarti apabila petani dengan
masa kerja >10 tahun; lama kerja perhari >= 6 jam; frekuensi penyemprotan
> 1 kali per minggu; posisi terhadap arah angin waktu menyemprot yang tidak
tentu; penggunaan alat pelindung diri yang tidak lengkap dan menggunakan
pestisida campuran mempunyai probabilitas untuk terjadi goiter sebesar 33,78 %.
Nilai probabilitas sebesar 33,78% dapat dianggap cukup kecil dalam menimbulkan
kejadian goiter, artinya masih ada 66,22% faktor risiko lainnya yang dapat
menimbulkan kejadian goiter, seperti tingkat konsumsi makanan yang mengandung
bahan goitrogenik, pemberian kapsul Iodium dan bahkan asupan Iodium atau
tingkat serapan Iodium oleh tubuh. Meskipun demikian dengan nilai probabilitas
sebesar 33,78% menunjukan bahwa faktor risiko riwayat paparan pestisida ini
juga perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius, mengingat penggunaan
pestisida di kalangan petani sudah menjadi kebutuhan yang mendasar.Ketika
pestisida masuk ke dalam tubuh, pestisida akan menempel pada enzim
kholinesterase, akibatnya terjadi hambatan pada aktifitas enzim kholinesterase,
sehingga terjadi akumulasi substrat (asetilkholin) pada sel efektor.Keadaan
tersebut akan menyebabkan gangguan pada syaraf yang berupa aktifitas vkholinergik
secara terus menerus akibat asetikholin yang tidak dihidrolisis.Asetilkholin
berperan sebagai jembatan penyebrangan bagi mengalirnya getaragetaran syaraf.
Melalui sistem syaraf inilah organ-organ didalam tubuh menerima informasi untuk
mempergiat atau mengurangi aktifitas sel pada organ. Pada sistem syaraf, stimulasi
yang diterima dijalarkan melalui serabut-serabut syaraf (akson) dalam bentuk
impuls. Setelah impuls syaraf oleh asetilkholin diseberangkan/diteruskan
melalui serabut, enzim kholinesterase memecahkan asetilkholin dengan cara
menghidrolisis asetilkholin menjadi kholin dan sebuahion asetat, impuls syaraf
kemudian berhenti.15 Sistem syaraf pusat dihubungkan dengan hipofisis melalui
hipotalamus, ini adalah hubungan yang paling nyata antara sistem syaraf pusat
dan sistem endokrin. Kedua sistem ini saling berhubungan baik melalui syaraf
maupun vaskular. Sistem yang menghubungkan hipotalamus dengan kelenjar
hipofisis dikenal dengan istilah sistem portal hipotalamus-hipofisis. Sistem
portal ini merupakan saluran vaskular yang penting karena memungkinkan pergerakan
releasing hormone dari hipotalamus ke kelenjar hipofisis, sehingga memungkinkan
hipotalamus mengatur fungsi kelenjar hipofisis. kelenjar-kelenjar lain,
menyebabkan pelepasan hormon-hormon kelenjar sasaran.Sehingga apabila ada
gangguan pada sistem syaraf karena gagalnya enzim
KESIMPULAN
pada umumnya sering di gunakan oleh petani
hortikultura untuk menyemprot tanaman mereka.Pemakaian pestisida ini di lakukan
karena adanya kekhawatiran petani akan adannya serangga hama yang dapat menurunkan hasil pertaniannya.Intensitasnya
pemakaian pestisida yang tinggi dan di lakukan setiap musim tanam akan
menyebabkan beberapa kerugian antara lain residu pestisida akan terkumulasi
pada produk-produk pertanian dan perairan,pencemaran,keracunan pada
hewan.keracunan pada manusia sehingga berdampak buruk bagi kesehatan
mereka.Beberapa pestisida dapat menyebabkan pembesaran tiroid yang pada
akhirnya akan terjadi kanker tiroid (goiter) yaitu suatu penyakit pembengkakan
pada leher akibat pembesaran kelenjar tiroid.Kelenjar tersebut membesar sebagai
akibat konpensasi untuk meningkatkan output hormon tiroid.Sebelumnya kasus ini
terjadi di saerah yang di mana diet garam iodiumnya kurang.
Kritikan
Judul Penelitian :Hubungan Riwayat Paparan
Pestisida Dengan Kejadian Goiter Pada Petani Hortikultura di Kecamatan Ngablak
Kabupaten Magelang
Kritik:Penelitian ini baru pertama kali di
lakukan oleh Hendra karena belum ada yang melakukan penelitian ini sebelumnya.Dalam
penelitian ini Hendra di bantu oleh kerabat terdekatnya mulai dari dosen,teman
kampus dan keluarganya.Penulis sudah cukup baik dalam menyusun tesis ini karena
masalahnya sudah cukup jelas ,selain itu dia juga menyertakan cara untuk
mengatasi masalah-masalah yang di hadapi oleh petani hortikultura terhadap
kejadian goiter.
Kritik:Dalam penyusunan tesis ini
kesimpulannya kurang baik karena penulis tidak menjelaskan secara terperinci
sehingga pembaca menjadi kurang memahaminya.Seharusnya dalam kesimpulan
tersebut di jelaskan tentang hubungan penggunaan pestisida dengan munculnya
penyakit goiter agar para pembaca bisa mengetahuinya.Sehingga mereka menjadi
tahu gambaran umum dari penyakit goiter
tersebut.Dengan begitu mereka akan mengurangi pemakaian pestisida agar tidak
berlebihan.
No comments:
Post a Comment