Saturday, May 20, 2017

Hubungan Riwayat Paparat Peptisida dengan Kejadian Goiter pada Petani Hortikultura di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang

Ringkasan Penelitian

Hubungan Riwayat Paparat Peptisida dengan Kejadian Goiter pada Petani Hortikultura di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang










Dikutip dari hasil Karya Tulis Ilmiah
(Hendra Budi Sungkawa)

Disusun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Hyiegene Perusahaan :
Nama  :  Mariatul (311.12.015)


Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Nusa Tenggara Barat
2015




A.    Latar belakang

Pertanian di Indonesia merupakan sektor yang menyerap paling banyak tenaga kerja, hal ini terlihat berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik (BPS) pertanian dari sekitar 90 juta angkatan kerja yang berusia 15 tahun keatas. tahun 2001 yang menunjukan bahwa sekitar 40 juta orang bekerja disektor, banyaknya tenaga kerja yang bekerja di sektor itu tentunya memerlukan perhatian yang serius dari pemerintah dalam hal keselamatan dan keamanan para tenaga kerja. Untuk meningkatkan hasil di sektor pertanian perlu didukung beberapa sarana pertanian Adapun sarana yang mendukung pertanian antara lain alat-alat pertanian, pupuk buatan (Urea, TSP, NPK, Za dan sebagainya), bahan-bahan kimia tambahan, termasuk pestisida.
Pestisida atau Pest Killing Agent merupakan obat-obatan atau senyawa kimia yang umumnya bersifat racun, digunakan untuk membasmi jasad pengganggu tanaman, baik hama, penyakit maupun gulma. Penggunaan pestisida pada suatu lahan, merupakan aplikasi dari suatu teknologi yang pada saat itu, diharapkan dapat membantu meningkatkan hasil pertanian dan membuat biaya pengelolaan pertanian menjadi lebih efisien dan ekonomis. Pemakaian pestisida biasanya dilakukan karena adanya kekhawatiran petani akan adanya serangan hama yang dapat menurunkan hasil pertaniannya.
Dampak buruk pestisida ini bukan hanya mengenai petani atau pekerja yang menyemprot pestisida saja, tetapi juga dapat mengenai keluarga dan tetangga di mana kegiatan itu dilakukan. Keracunan pestisida dapat bersifat akut maupun kronis. Keracunan pestisida yang akut ada yang bersifat lokal ada juga yang bersifat sistemik. Keracunan pestisida yang bersifat sistemik dapat menyerang sistem syaraf, hati atau liver, perut, sistem kekebalan dan eracunan pestkeseimbangan hormonal.
 Keracunan pestisida dapat ditemukan dengan memeriksa aktifitas cholinesterase dalam darah. Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian keracunan pestisida meliputi beberapa faktor antara lain, umur, tingkat pendidikan, masa kerja, lama kerja per hari, jenis pestisida, dosis pestisida, frekuensi penyemprotan, waktu penyemprotan, arah angin waktu penyemprotan dan penggunaan alat pelindung diri (APD).
Penelitian terhadap hewan menunjukan bahwa pestisida mempengaruhi produksi hormon dalam tubuh. Hormon adalah bahan kimia yang diproduksi oleh organ-organ seperti otak, tiroid, paratiroid, ginjal, adrenalin, testis dan ovarium untuk mengontrol fungsi-fungsi tubuh yang penting. Beberapa pestisida mempengaruhi hormon reproduksi yang dapat menyebabkan penurunan produksi sperma pada pria atau pertumbuhan telur yang tidak normal pada wanita. Beberapa pestisida dapat menyebabkan pembesaran tiroid yang akhirnya kanker tiroid.
Prevalensi gangguan akibat kekurangan Iodium (GAKI) di Jawa Tengah berdasarkan hasil survey pemetaan yang dilakukan UNDIP bekerja sama dengan Direktorat Gizi Masyarakat pada tahun 2003 menunjukan angka rata-rata Jawa Tengah 6,58% dan evaluasi GAKI yang dilakukan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah yang bekerja sama dengan Balai Litbang GAKI Borobudur Magelang pada daerah endemis pada tahun 2004 dengan jumlah sampel yang dikembangkan hingga ditingkat kecamatan menunjukan angka prevalensi goiter Jawa Tengah adalah 9,68% yang berarti termasuk dalam status endemik ringan. Salah satu kabupaten yang termasuk daerah endemik goiter itu adalah Kabupaten Magelang.
Survey awal menunjukan bahwa dari 100 petani di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang yang diperiksa secara palpasi, didapat prevalensi goiter di Kecamatan Ngablak mencapai 17,5%. Kondisi ini tentu jauh di atas nilai prevalensi goiter untuk Provinsi Jawa Tengah.x Dari penelitian yang dilakukan oleh Sumarni pada daerah endemik gondok diperoleh hasil prevalensi gondok pada ibu menyusui sebesar 48,21% dan prevalensi gondok pada anak usia dibawah dua tahun sebesar 8,93%.
Mengingat banyaknya penggunaan pestisida dan goiter di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang, maka penting sekali didapatkan informasi tambahan mengenai hubungan antara pestisida dengan goiter pada petani hortikultura. Atas dasar itulah perlu dilakukan penelitian dengan judul : “ Hubungan riwayat paparan pestisida dengan kejadian goiter pada petani hortikultura di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang “.

B.     Perumusan Masalah.
Identifikasi Masalah sebagai berikut :
1.      Ketergantungan para petani hortikultura terhadap pestisida yang berjumlah sebanyak 16.237 jiwa (66,3%) dari semua petani yang ada diKecamatan Ngablak diyakini sangat berpotensial untuk menimbulkan dampak kesehatan
2.      Adanya kecenderungan penggunaan pestisida dengan dosis yang tinggi dan terus menerus terutama dilakukan setelah hujan
3.      Menurut laporan kegiatan pemeriksaan aktifitas Cholinesterase darah terhadap 50 sampel di kecamatan Ngablak terdapat 49 orang (98 %)mengalami keracunan.Kejadian gondok tidak dilaporkan secara rutin, kalaupun ada bersifatinsidental
4.      Terjadi peningkatan kasus goiter, pada tahun 2003 sebesar 6,58% dantahun 2004 menjadi 9,68%
5.      Berdasarkan survey awal didapatkan prevalensi goiter  dikecamatan Ngablak Kabupaten Magelang mencapai 17,5% Sehubungan dengan kasus di atas, maka pertanyaan penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan antara riwayat paparan pestisida dengan kejadian goiter pada petani hortikultura di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang ? “

C.    Tujuan Penelitian
a.       Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara paparan pestisida dengan kejadian goiter petani hortikultura di kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang
b.      Tujuan Khusus
1.      Mengidentifikasi karateristik petani (Umur, Tingkat pendidikan,Masa kerja, lama bekerja per hari, Tingkat pendidikan)
2.      Mengidentifikasi jenis pestisida, dosis pestisida yang digunakan,frekuensi penyemprotan, waktu penyemprotan, posisi petaniterhadap arah angin waktu penyemprotan , penggunaan APD dankejadian goiter
3.      Menganalisis besar risiko faktor umur dan tingkat pendidikandengan kejadian goiter
4.      Menganalisis besar risiko faktor masa kerja dan lama kerja dengankejadian goiter










A.    Pengertian tentang pestisida
Kata pestisida berasal dari dua kata yakni, ”pest” memiliki arti hama, dan ”cide” yang berarti membunuh. Pestisida sering disebut ”Pest Killing Agent”.Pestisida adalah semua bahan yang digunakan untuk membunuh, mencegah,mengusir, mengubah hama atau bahan yang digunakan untuk merangsang,mengatur serta mengendalika tumbuhan.Menurut Darmono, pestisida adalah semua bahan kimia untuk membunuh hama (insekta, jamur dan gulma), sehingga pestisida dikelompokkan sebagai :
1.      Insektisida (pembunuh insekta)
2.      Fungisida ( pembunuh jamur)
3.      Herbisida (pembunuh tanaman pengganggu)
Pestisida telah secara luas digunakan untuk tujuan memberantas hama dan penyakit tanaman dalam bidang pertanian. Pestisida juga digunakan di rumah tangga untuk memberantas nyamuk, kepinding, kecoa dan berbagai serangga penganggu lainnya. Di lain pihak pestisida ini secara nyata banyak menimbulkan keracunan pada orang. Kematian yang disebabkan oleh keracunan pestisida banyak dilaporkan baik karena kecelakaan waktu menggunakannya, maupun karena disalah gunakan (untuk bunuh diri). Dewasa ini bermacam-macam jenis pestisida telah diproduksi dengan usaha mengurangi efek samping yang dapat menyebabkan berkurangnya daya toksisitas pada manusia, tetapi sangat toksik pada serangga.

B.     Klasifikasi Pestisida
Pestisida dapat digolongkan menurut penggunaannya dan disubklasifikasi menurut jenis bentuk kimianya. Dari bentuk komponen bahan aktifnya maka pestisida dapat dipelajari efek toksiknya terhadap manusia maupun makhluk hidup lainnya dalam lingkungan yang bersangkutan.
1.      Organofosfat
Lebih dari 50.000 komponen organofosfat telah disintesis dan diuji untuk aktivitas insektisidanya. Tetapi yang telah digunakan tidak lebih dari 500 jenissaja dewasa ini. Semua produk organofosfat tersebut berefek toksik bila terjadi kontak dengan manusia. Beberapa jenis insektisida digunakan untuk keperluan medis misalnya fisostigmin, edroprium dan neostigmin yang digunakan untukaktivitas kholinomimetik (efek seperti asetylcholine). Obat tersebut digunakan untuk pengobatan gangguan neuromuskuler seperti myastinea gravis. Fisostigmin juga digunakan untuk antidotum pengobatan toksisitas ingesti dari substansi antikholinergik (misalnya: trisyklik anti depressant, atrophin dan sebagainya).Fisostigmin, ekotiopat iodide dan organophosphorus juga berefek langsung untuk mengobati glaucoma pada mata yaitu untuk mengurangi tekanan intraokuler pada bola mata.Beberapa contoh pestisida yang termasuk ke dalam golongan organofosfat antara lain : Azinophosmethyl Azinophosmethyl, Chloryfos, Demeton Methyl,Dichlorovos, Dimethoat, Disulfoton, Ethion, Palathion, Malathion, Parathion,Diazinon, Chlorpyrifos.
2.      Karbamat
Insektisida karbamat berkembang setelah organofosfat.
3.      Organoklorin
Organoklorin atau disebut “Chlorinated hydrocarbon” terdiri dari beberapa kelompok yang diklasifikasi menurut bentuk kimianya. Yang paling populer dan pertama kali disinthesis adalah “Dichloro-diphenyl-trichloroethan” atau disebut DDT.
C.    Dampak penggunaan pestisida terhadap kesehatan
Besarnya bahaya yang dapat ditimbulkan oleh pestisida harus dibedakan dengan toksisitas absolutnya. Toksisitas dinyatakan oleh LD50 dari senyawa yang bersangkutan, Untuk menentukan besarnya bahaya pestisida harus dinilai lain dan tidak hanya ditentukan LD50, tetapi banyak faktor luar sewaktu manusia menggunakaan bahan pestisida tersebut.
Pemakaian pestisida dalam jumlah besar akan melibatkan manusia dalam jumlah besar pula. Keadaan ini akan menimbulkan banyak manusia yang terpapar pestisida, mulai dari proses produksi, pemasaran, distribusi hingga ke pengguna. Bahaya potensial penggunaan pestisida ada dua macam yaitu :
1.      Bahaya potensial yang diakibatkan oleh paparan secara langsung terhadap bahaya pestisida, mulai dari formulating plant sampai ke tingkat pengguna
2.      Bahaya potensial secara tidak langsung, dimana setelah pestisida diaplikasikan penggunaannya, banyak residu-residu pestisida yang akan mencemari lingkungan yang akhirnya juga berpengaruh terhadap kesehatan manusia.





D.Keracunan Pestisida
Keracunan pada tubuh dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni :
1.      Sifat fisik bahan kimia, dapat berupa debu, uap, asap, fume atau bentuk lainnya
2.      Dosis pestisida yang masuk kedalam tubuh
3.      Sifat kimia pestisida, jenis persenyawaan, kelarutan dalam jaringan tubuh, jenis larutan
4.      Jalan masuk kedalam tubuh, dapat melalui inhalasi, ingesti, kontak kulit dan selaput lendir
5.      Faktor individu; yang berupa usia, jenis kelamin, daya tahan tubuh, kebiasaan, nutrisi, genetik.
Penatalaksanaan pestisida adalah sebagai suatu bentuk teknik tata laksana yang berkaitan erat dengan keamanan dan ketepatan pemakaian dari tingkat produksi sampai dengan penggunaan ditingkat konsumen. Ada tiga efek pestisida terhadap kesehatan yaitu : akut lokal, akut sistemik dan kronis.

D.    Gejala-gejala keracunan pestisida
Pestisida dibedakan berdasarkan cara masuk kedalam tubuh yaitu melalui :
1.      Mulut (per oral – ingesti)
2.      Saluran pernafasan (inhalasi)
3.      Dubur, vagina
4.      Kulit













HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Daerah Penelitian                                         
1. Gambaran Umum
Wilayah Kecamatan Ngablak secara geografis sebagian besarterletak di lereng gunung Merbabu yang termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Magelang,  mempunyai luas wilayah 43,8 km2.Wilayah Kecamatan Ngablak mempunyai batas, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pakis, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Grabag dan sebelah timur dan utara berbatasan dengan Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Letak geografis Kecamatan Ngablak berada pada 110o20’30” – 110o26’20” BT dan 07o20’34” -07o26’30” LS dengan ketinggian berkisar antara 1000 – 3000 m dpl. Curah
hujan per tahun berkisar 181.620 mm dan suhu udara berkisar antara 20 –25oC serta kandungan Iodium dalam air tanah (sumur dan air gunung)berkisar antara 0 – 9 ppm.
Kecamatan Ngablak terbagi dalam 16 pemerintahan desa dengan jumlah penduduk sebesar 40.283 jiwa. Sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah petani yakni berkisar 24.489 jiwa dan dari jumlah itu 16.237 diantaranya adalah petani hortikulutra yang tergabung dalam 93 kelompok tani. Luas lahan yang dipergunakan untuk kegiatan pertanian hortikultura kurang lebih 3064 hektar dengan tingkat kemiringan lahan berkisar 30 – 40 %. Jenis tanaman yang diusahakan oleh petani antara lain:cabai, tomat, labu siam, wortel, kubis, kacang panjang dan berbagai jenis sayur-sayuran.Upaya peningkatan hasil pertanian dilakukan dengan cara intensifikasi pertanian, salah satu upayanya adalah dengan pemberantasan hama menggunakan pestisida. Penggunaan pestisida oleh petani di Kecamatan Ngablak biasanya meningkat dengan seiringnya musim penghujan. Kegiatan penyemprotan biasanya dilakukan setelah hujan,Semakin sering hujan turun semakin sering petani melakukan kegiatan penyemprotan.
2. Kondisi Kesehatan
Sarana kesehatan pemerintah yang ada di Kecamatan Puskesmas, 3 Puskesmas Pembantu dan 13 buah Pondok Bersalin Desa ( 10 baik dan 3 rusak). Angka kematian bayi di Kecamatan Ngablak berdasarkan data dari Puskesmas sebesar 5,74 per 1000kelahiranbayi hidup, sedangkan angka kematian ibu sebesar 5,68 per 1000 ibu nifas.Hasil pemeriksaan TSH pada 7 penderita gondok didapat hasil rata-rata sebesar 0,217. Laporan tersebut belum menggambarkan keadaan yang sesungguhnya, disebabkan tidak semua peristiwa tercatat dan terlaporkan.Sarana kesehatan yang ada di Kecamatan Ngablak dilayani oleh 16 orang bidan, 7 orang perawat, 1 orang tenaga farmasi, 1 orang tenaga gizi,1 orang tenaga sanitarian, 2 orang sarjana kesehatan masyarakat dan 2orang dokter.jumlah rumah penduduk yang memenuhi persyaratan kesehatan berkisar 49,82 % dan jumlah penduduk yang mempunyai akses/memiliki persediaan air bersih sebanyak 78,05%. Tempat pengelolaan pestisida
(TP2) yang memenuhi persyaratan sebanyak 45,12%, tempat pengelolaan makanan (TPM) yang memenuhi syarat sebanyak 59,87% dan tempattempat umum yang memenuhi syarat sebanyak 74,48%.
3. Pestisida dan Penggunaannya
Keberadaaan dan penggunaan pestisida oleh petani di Kecamatan Ngablak telah berlangsung sejak tahun 1970 an. Pestisida dijadikan bahan yang utama bagi petani dalam rangka pengendalian hama, karena upaya yang lain belum dikuasai atau bahkan tidak mereka kenal. Penggunaan pestisida sering tidak proporsional terutama bila terjadi serangan hama
atau setelah hujan, petani akan segera melakukan kegiatan penyemprotan setelah turun hujan, kondisi ini sering diperparah dengan ketidak pedulian mereka tentang bahaya pestisida yang dapat meracuni petani, keluarga dan lingkungannya.

B.Hasil analisis hubungan riwayat paparan pestisida dengan kejadian goiter
Analisis bivariat yang dilakukan terhadap faktor risiko kejadian goiter bertujuan untuk memperoleh gambaran besar risiko faktor-faktor tersebut terhadap timbulnya kejadian goiter pada responden secara bivariat, tanpa mempertimbangkan adanya variabel-variabel yang lain. Analisis dilakukan dengan membuat tabel silang (crosstab) sehingga dapat dihitung crude OR(odds ratio) dari faktor risiko tersebut.
1. Hubungan umur terhadap kejadian goiter
Semakin lama seseorang hidup, semakin bertambah umurnya dan semakin banyak pula pemaparan yang dialaminya. Hubungan faktor risiko umur dengan kejadian goiter dapat dilihat pada Table 4.2.Tabel 4.2. Faktor risiko umur dalam menimbulkan kejadian goiter Umur Kejadian Goiter Ya % Tidak % >= 40 tahun 46 67,6 24 35,3
< 40 tahun 22 32,4 44 64.7 Jumlah 68 100,0 68 100,0 Nilai p = 0,001 OR = 3,83 95 % CI = 1,88 – 7,81.Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 4.2, dari 68 responden kelompok yang mengalami kejadian goiter, 67,6 % berumur lebih dari atau sama dengan 40 tahun. Sedangkan dari kelompok yang tidak mengalami kejadian goiter, 35,3,% berumur lebih dari atau sama dengan 40 tahun.Analisis bivariat hubungan antara umur dengan kejadian goiter didapat nilai p sebesar 0,001 maka secara statistik  dikatakan ada hubungan yang signifikan antara umur petani dengan kejadian goiter. Hasil perhitungan odds ratio(OR) diperoleh nilai sebesar 3,83 ( 95 % CI = 1,88 — 7,81). Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa petani yang berumur lebih dari atau sama dengan 40 tahun mempunyai risiko untuk terkena kejadian goiter 3,83 kali lebih dibandingkan dengan petani yang berumur kurang dari 40 tahun.


2. Hubungan Jenis pestisida terhadap kejadian goiter
Penggunaan pestisida campuran lebih berbahaya dari pada penggunaan dalam bentuk tunggal, hal ini berkaitan dengan kandungan zat aktif yang ada dalam petisida tersebut. Hubungan faktor jenis pestisida dengan kejadian goiter dapat dilihat pada Table 4.6.
Tabel 4.6. Faktor risiko jenis pestisida dalam menimbulkan kejadian goiter Jenis Pestisida Kejadian Goiter Ya % Tidak % Campuran 41 (60,3%) 14 (20,6%) Tunggal 27 (39,7%) 54 (79,4%) Jumlah 68 100,0 68 100,0 Nilai p = 0,001 OR = 5,86 95 % CI = 2,73 – 12,56.Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 4.6, dari 68 responden kelompok yang mengalami kejadian goiter, 60,3 % menggunakan pestisida campuran. Sedangkan dari kelompok yang tidak mengalami kejadian goiter, 20,6 % menggunakan pestisida campuran.Analisis bivariat hubungan antara jenis pestisida dengan kejadian goiter didapat nilai p sebesar 0,001 maka secara statistik dikatakan ada hubungan yang signifikan antara jenis pestisida dengan kejadian goiter. Hasil perhitungan odds ratio(OR) diperoleh nilai sebesar 5,86 (95 % CI = 2,73 12,56). Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa petani yang menggunakan jenis pestisida campuran mempunyai risiko untuk terkena kejadian goiter 5,86 kali lebih dibandingkan dengan petani yang menggunakan jenis pestisida tunggal.

3. Hubungan dosis pestisida terhadap kejadian goiter
Penggunaan pestisida yang tidak memperhatikan takaran yang dianjurkan memungkinkan terjadi pemaparan yang lebih kuat. Hubungan faktor dosis pestisida dengan kejadian goiter dapat dilihat pada Table 4.7. Tabel 4.7. Faktor risiko dosis pestisida dalam menimbulkan kejadian goiterDosis Pestisida Kejadian Goiter Ya % Tidak % Tidak Sesuai 28 (41,2%) 13 (19,1%) Sesuai 40 (58,8%) 55 (80,9%) Jumlah 68 100,0 68 100,0 Nilai p = 0,009 OR = 2,96 95 % CI = 1,37 – 6,42 .Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 4.7., dari 68 responden kelompok yang mengalami kejadian goiter, 41,2% menggunakan dosis pestisida yang tidak sesuai. Sedangkan dari kelompok yang tidak mengalami kejadian goiter, 19,1% menggunakan dosis pestisida yang tidak sesuai.Analisis bivariat hubungan antara jenis pestisida dengan kejadian goiter didapat nilai p sebesar 0,009 maka secara statistik dikatakan ada hubungan yang signifikan antara dosis pestisida dengan kejadian goiter. Hasil perhitungan odds ratio(OR) diperoleh nilai sebesar 2,96 (95 % CI = 1,37 6,42). Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa petani yang menggunakan dosis pestisida yang tidak sesuai mempunyai risiko untuk terkena kejadian goiter 2,96 kali lebih dibandingkan dengan petani yang menggunakan sesuai dengan dosis pestisida.


4. Hubungan lama kerja per hari terhadap kejadian goiter
Semakin lama kerja seorang petani dalam satu hari maka akan semakin banyak pula kemungkinan untuk terjadi kontak dengan pestisida Hubungan faktor risiko lama kerja per hari dengan kejadian goiter dapat dilihat pada Table 4.5 Tabel 4.5. Faktor risiko lama kerja per hari dalam menimbulkan kejadian goiter Lama kerja per hari Kejadian Goiter Ya % Tidak  >= 6 jam 53 (77,9%) 40 (58,8%) < 6 jam 15 (22,1%) 28 (41,2%) Jumlah 68 100,0 68 100,0 Nilai p = 0,027 OR = 2,47 95 % CI = 1,17 – 5,23 .Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 4.5, dari 68 responden kelompok yang mengalami kejadian goiter, 77,9 % mempunyai lama kerja per hari lebih dari atau sama dengan 6 jam. Sedangkan dari kelompok yang tidak mengalami kejadian goiter, 58,8 % mempunyai lama kerja per hari lebih dari atau sama dengan 6 jam. Analisis bivariat hubungan antara lama keja per hari dengan kejadian goiter didapat nilai p sebesar 0,027 maka secara statistik dikatakan ada hubungan yang signifikan antara masa kerja petani dengan kejadian goiter. Hasil perhitungan odds ratio(OR) diperoleh nilai sebesar 2,47 (95 % CI = 1,17 5,23).
unakan dosis pestisida yang tidak sesuai. Analisis bivariat hubungan antara jenis pestisida dengan kejadian goiter didapat nilai p sebesar 0,009 maka secara statistik dikatakan ada hubungan yang signifikan antara dosis pestisida dengan kejadian goiter. Hasil perhitungan odds ratio(OR) diperoleh nilai sebesar 2,96 (95 % CI = 1,37 6,42). Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa petani yang menggunakan dosis pestisida yang tidak sesuai mempunyai risiko untuk terkena kejadian goiter 2,96 kali lebih dibandingkan dengan petani yang menggunakan sesuai dengan dosis pestisida.

5. Hubungan frekuensi penyemprotan terhadap kejadian goiter
Semakin sering petani melakukan kegiatan penyemprotan dengan menggunakan pestisida  akan semakin besar pemaparan yang terjadi. Hubungan faktor frekuensi penyemprotan dengan kejadian goiter dapat dilihat pada Table 4.8. Tabel 4.8. Faktor risiko frekuensi penyemprotan dalam menimbulkan kejadian goiter Frekuensi penyemprotan Kejadian Goiter Ya % Tidak % > 1 kali per minggu 48 (70,6%) 23 (33,8%) < = 1 kali per minggu 20 (29,4%) 45 (66,2%) Jumlah 68 100,0 68 100,0 Nilai p = 0,001 OR = 4,69 95 % CI = 2,28 – 9,69Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 4.8, dari 68 responden kelompok yang mengalami kejadian goiter, 70,6% melakukan kegiatan penyemprotan lebih dari 1 kali per minggu. Sedangkan dari kelompok yang tidak mengalami kejadian goiter, 33,8% melakukan kegiatan penyemprotan lebih dari 1 kali per minggu. Analisis bivariat hubungan antara jenis pestisida dengan kejadian goiter didapat nilai p sebesar 0,001 maka secara statistik dikatakan ada hubungan yang signifikan antara frekuensi penyemprotan dengan kejadian goiter. Hasil perhitungan odds ratio(OR) diperoleh nilai sebesar 4,69 (95 % CI = 2,28 9,69). Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa petani yang melakukan kegiatan penyemprotan lebih dari 1  kali per minggu mempunyai risiko untuk terkena kejadian goiter 4,69 kali lebih dibandingkan dengan petani yang melakukan kegiatan penyemprotan kurang dari atausama dengan 1 kali  per minggu.
6. Hubungan waktu penyemprotan terhadap kejadian goiter
Waktu dalam melakukan kegiatan penyemprotan berkaitan dengan suhu lingkungan, yang mana dapat membuat pengeluaran keringat lebih banyak pada siang hari, sehingga kemungkinan penyerapan pestisida melalui kulit lebih mudah. Hubungan faktor waktu penyemprotan dengan kejadian goiter dapat dilihat pada Table 4.9. Tabel 4.9. Faktor risiko waktu penyemprotan dalam menimbulkan kejadian goiter Waktu penyemprotan Kejadian Goiter Ya % Tidak % Tidak tentu 1 (1,5%) 2 (2,9%) Pagi 67 (98,5%) 66 (97,1%) Jumlah 68 100,0 68 100,0 Nilai p = 1,000 OR = 0,49 95 % CI = 0,04 – 5,56 Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 4.9., dari 68 responden kelompok yang mengalami kejadian goiter, 1,5% melakukan kegiatan penyemprotan pada waktu yang tidak tentu. Sedangkan dari kelompok yang tidak mengalami kejadian goiter, 2,9% melakukan kegiatan penyemprotan pada waktu yang tidak tentu. Analisis bivariat hubungan antara jenis pestisida dengan kejadian goiter didapat nilai p sebesar 1,000 maka secara statistik dikatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara waktu penyemprotan dengan kejadian goiter. Hasil perhitungan odds ratio(OR) diperoleh nilai sebesar 0,49 (95 % CI = 0,04 5,56).
7. Hubungan Posisi Petani Terhadap Arah Angin dengan kejadian goiter
Posisi petani terhadap arah angin penting sekali untuk diperhatikan berkaitan dengan kemungkinan terjadi pemaparan yang lebih kuat bila penyemportan dilakukan berlawanan dengan arah angin. Hubungan faktor risiko posisi petani terhadap arah angin dengan kejadian goiter dapat dilihat pada Table 4.10. Tabel 4.10. Faktor risiko posisi petani terhadap arah angin dalam menimbulkan kejadian goiter Posisi petani terhadap arah Kejadian Goiter angin Ya % Tidak % Tidak memperhatikan 56 (82,4%) 41 (60,3%) Memperhatikan 12 (17,6%) 27 (39,7%) Jumlah 68 100,0 68 100,0 Nilai p = 0,008 OR = 3,07 95 % CI = 1,39 – 6,77 Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 4.10., dari 68 responden kelompok yang mengalami kejadian goiter, 82,4% melakukan kegiatan penyemprotan dengan tidak memperhatikan arah angin. Sedangkan dari kelompok yang tidak mengalami kejadian goiter, 60,3% melakukan kegiatan penyemprotan dengan tidak memperhatikan arah angin. Analisis bivariat hubungan antara jenis pestisida dengan kejadian goiter didapat nilai p sebesar 0,008 maka secara statistik dikatakan ada hubungan yang signifikan antara Posisi petani terhadap arah angin dengan kejadian goiter. Hasil perhitungan odds ratio(OR) diperoleh nilai sebesar 3,07 (95 % CI = 1,39 6,77). Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa petani yang melakukan kegiatan penyemprotan yang posisinya terhadap arah angin tidak tentu mempunyai risiko untuk terkena kejadian goiter 3,07 kali lebih dibandingkan dengan petani yang melakukan kegiatan penyemprotan searah dengan arah angin.


8. Hubungan Penggunaan Alat Pelindung Diri terhadap kejadian goiter
Penggunaan alat pelindung diri merupakan proteksi untuk mencegakecelakaan akibat kerja, termasuk terjadinya keracunan pestisida pada petani waktu melakukan  kegiatan penyemprotan. Hubungan faktor risiko penggunaan alat pelindung diri dengan kejadian goiter dapat dilihat pada Table 4.11. Tabel 4.11. Faktor risiko penggunaan alat pelindung diri dalam menimbulkan kejadian goiter Penggunaan Alat Pelindung Kejadian Goiter Diri Ya % Tidak % Tidak lengkap 46 (67,6%) 27 (39,7%) Lengkap 22 (32,4%) 41 (60,3%) Jumlah 68 100,0 68 100,0 Nilai p = 0,002 OR = 3,18 95 % CI = 1,56 – 6,41 Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 4.11., dari 68 responden kelompok yang mengalami kejadian goiter, 67,6%  alat pelindung diri yang tidak lengkap. Sedangkan dari kelompok yang tidak mengalami kejadian goiter, 39,7% menggunakan alat pelindung diri yang tidak lengkap. Analisis bivariat hubungan antara penggunaan alat pelindung diri dengan kejadian goiter didapat nilai p sebesar 0,002 maka secara statistik dikatakan ada hubungan yang signifikan antara penggunaan alat pelindung diri dengan kejadian goiter. Hasil perhitungan odds ratio(OR) diperoleh nilai sebesar 3,18 (95 % CI = 1,56 6,41).

9.Hubungan tingkat pendidikan terhadap kejadian goiter
Pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan formal juga akan memberikan pengaruh terhadap kemampuan adaptasi seseorang, serta lebih mudah menerima pesan-pesan yang disampaikan, sehingga penanganan /pengelolaan pestisida juga akan lebih baik. Hubungan faktor risiko tingkat pendidikan dengan kejadian goiter dapat dilihat pada Table 4.3. Tabel 4.3. Faktor risiko tingkat pendidikan dalam menimbulkan kejadian goiter Tingkat pendidikan Kejadian Goiter Ya % Tidak % Rendah 65 95,6%) 67 (98,5%) Tinggi 3 4,4%) 1 (1,5%) Jumlah 68 100,0 68 100,0
Nilai p = 0,612 OR = 0,32 95 % CI = 0,03 – 3,19 .Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 4.3., dari 68 responden kelompok yang mengalami kejadian goiter, 95,6 % mempunyai tingkat pendidikan yang rendah. Sedangkan dari kelompok yang tidak mengalami kejadian goiter, 98,5 % mempunyai tingkat pendidikan yang rendah. Analisis bivariat hubungan antara umur dengan kejadian goiter didapat nilai p sebesar 0,612 maka secara statistik dikatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan petani dengan kejadian goiter. Hasil perhitungan odds ratio(OR) diperoleh nilai sebesar 0,32 (95 % CI = 0,03 3,19).
10.Hubungan masa kerja terhadap kejadian goiter
Semakin lama masa kerja seorang petani maka akan semakin banyak pula kemungkinan untuk terjadi kontak dengan pestisida. Hubungan faktor risiko masa kerja dengan kejadian goiter dapat dilihat pada Table 4.4. Tabel 4.4. Faktor risiko masa kerja dalam menimbulkan kejadian goiter Masa kerja Kejadian Goiter Ya % Tidak % > 10 tahun 66 (97,1%) 49 (72,1%) <= 10 tahun 2 (2,9%) 19 (27,9%) Jumlah 68 100,0 68 100,0 Nilai p = 0,001 OR = 12,79 95 % CI = 2,85 – 57,53 Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 4.4, dari 68 responden kelompok yang mengalami kejadian goiter, 97,1 % mempunyai masa kerja lebih dari 10 tahun.


PEMBAHASAN
Sesuai dengan tujuan penelitian, yang dibahas dalam bab ini adalah faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian goiter. Data yang dianalisis adalah data sekunder dan data hasil observasi di lapangan yang diharapkan dapat memberikan penjelasan tentang faktor-faktor risiko tersebut.Berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui bahwa dari 10 variabel yang dianalisis, 8 variabel menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara variabel- variabel bebas dengan kejadian goiter. Variabel-variabel tersebut adalah umur, masa kerja, lama kerja per hari, jenis pestisida, dosis pestisida, frekuensi penyemprotan, posisi petani terhadap arah angin dan penggunaan alat pelindung diri dengan nilai risiko (OR) berkisar antara 1,09 hingga 26,33. Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa variabel-variabel itu memungkinkan untuk terjadi keracunan pestisida yang pada akhirnya menimbulkan kejadian goiter.Faktor risiko tingkat pendidikan dan waktu menyemprot tidak memberikan hubungan yang bermakna, dilihat dari p-value sebesar 0,612 dan 1,000 dan dilihat dari nilai Odds Rationya juga menunjukan mempunyai risiko di bawah 1, hal ini berkaitan dengan tingkat pendidikan formal yang di lalui oleh responden belum tentu menunjukan tingkat pengetahuan yang sebenarnya tentang pestisida,  banyakpengetahuan tentang pestisida justru didapat melalui kegiatan-kegiatan penyuluhan dan pelatihan yang khusus untuk hal tersebut, dan khusus untuk petani hortikultura di Kecamatan Ngablak pelatihan tentang penanganan pestisida sudah tidak dilakukan lebih dari 5 tahun terakhir. Sebanyak 97,8 % Petani hortikultura di Kecamatan Ngablak melakukan kegiatan penyemprotan di waktu pagi hari, ini sesuai dengan teori yang menganjurkan bahwa kegiatan penyemprotan sebaiknya dilakukan pada pagi hari dengan suhu berkisar 25 oC.Berdasarkan hasil analisis regresi logistik dimulai dari pemilihan variabel terpilih ke analisis multivariat sampai ke model akhir, maka diketahui faktor risiko yang berkontribusi terhadap kejadian goiter terdiri dari faktor risiko masa kerja, lama kerja per hari, jenis pestisida, frekuensi penyemprotan, posisi petani terhadap arah angin dan penggunaan alat pelindung diri dengan nilai p sebesar 33,78%. Hal ini berarti apabila petani dengan masa kerja >10 tahun; lama kerja perhari >= 6 jam; frekuensi penyemprotan > 1 kali per minggu; posisi terhadap arah angin waktu menyemprot yang tidak tentu; penggunaan alat pelindung diri yang tidak lengkap dan menggunakan pestisida campuran mempunyai probabilitas untuk terjadi goiter sebesar 33,78 %. Nilai probabilitas sebesar 33,78% dapat dianggap cukup kecil dalam menimbulkan kejadian goiter, artinya masih ada 66,22% faktor risiko lainnya yang dapat menimbulkan kejadian goiter, seperti tingkat konsumsi makanan yang mengandung bahan goitrogenik, pemberian kapsul Iodium dan bahkan asupan Iodium atau tingkat serapan Iodium oleh tubuh. Meskipun demikian dengan nilai probabilitas sebesar 33,78% menunjukan bahwa faktor risiko riwayat paparan pestisida ini juga perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius, mengingat penggunaan pestisida di kalangan petani sudah menjadi kebutuhan yang mendasar.Ketika pestisida masuk ke dalam tubuh, pestisida akan menempel pada enzim kholinesterase, akibatnya terjadi hambatan pada aktifitas enzim kholinesterase, sehingga terjadi akumulasi substrat (asetilkholin) pada sel efektor.Keadaan tersebut akan menyebabkan gangguan pada syaraf yang berupa aktifitas vkholinergik secara terus menerus akibat asetikholin yang tidak dihidrolisis.Asetilkholin berperan sebagai jembatan penyebrangan bagi mengalirnya getaragetaran syaraf. Melalui sistem syaraf inilah organ-organ didalam tubuh menerima informasi untuk mempergiat atau mengurangi aktifitas sel pada organ. Pada sistem syaraf, stimulasi yang diterima dijalarkan melalui serabut-serabut syaraf (akson) dalam bentuk impuls. Setelah impuls syaraf oleh asetilkholin diseberangkan/diteruskan melalui serabut, enzim kholinesterase memecahkan asetilkholin dengan cara menghidrolisis asetilkholin menjadi kholin dan sebuahion asetat, impuls syaraf kemudian berhenti.15 Sistem syaraf pusat dihubungkan dengan hipofisis melalui hipotalamus, ini adalah hubungan yang paling nyata antara sistem syaraf pusat dan sistem endokrin. Kedua sistem ini saling berhubungan baik melalui syaraf maupun vaskular. Sistem yang menghubungkan hipotalamus dengan kelenjar hipofisis dikenal dengan istilah sistem portal hipotalamus-hipofisis. Sistem portal ini merupakan saluran vaskular yang penting karena memungkinkan pergerakan releasing hormone dari hipotalamus ke kelenjar hipofisis, sehingga memungkinkan hipotalamus mengatur fungsi kelenjar hipofisis. kelenjar-kelenjar lain, menyebabkan pelepasan hormon-hormon kelenjar sasaran.Sehingga apabila ada gangguan pada sistem syaraf karena gagalnya enzim






KESIMPULAN
pada umumnya sering di gunakan oleh petani hortikultura untuk menyemprot tanaman mereka.Pemakaian pestisida ini di lakukan karena adanya kekhawatiran petani akan adannya serangga hama yang dapat  menurunkan hasil pertaniannya.Intensitasnya pemakaian pestisida yang tinggi dan di lakukan setiap musim tanam akan menyebabkan beberapa kerugian antara lain residu pestisida akan terkumulasi pada produk-produk pertanian dan perairan,pencemaran,keracunan pada hewan.keracunan pada manusia sehingga berdampak buruk bagi kesehatan mereka.Beberapa pestisida dapat menyebabkan pembesaran tiroid yang pada akhirnya akan terjadi kanker tiroid (goiter) yaitu suatu penyakit pembengkakan pada leher akibat pembesaran kelenjar tiroid.Kelenjar tersebut membesar sebagai akibat konpensasi untuk meningkatkan output hormon tiroid.Sebelumnya kasus ini terjadi di saerah yang di mana diet garam iodiumnya kurang.






















Kritikan

Judul Penelitian :Hubungan Riwayat Paparan Pestisida Dengan Kejadian Goiter Pada Petani Hortikultura di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang

Kritik:Penelitian ini baru pertama kali di lakukan oleh Hendra karena belum ada yang melakukan penelitian ini sebelumnya.Dalam penelitian ini Hendra di bantu oleh kerabat terdekatnya mulai dari dosen,teman kampus dan keluarganya.Penulis sudah cukup baik dalam menyusun tesis ini karena masalahnya sudah cukup jelas ,selain itu dia juga menyertakan cara untuk mengatasi masalah-masalah yang di hadapi oleh petani hortikultura terhadap kejadian goiter.

Kritik:Dalam penyusunan tesis ini kesimpulannya kurang baik karena penulis tidak menjelaskan secara terperinci sehingga pembaca menjadi kurang memahaminya.Seharusnya dalam kesimpulan tersebut di jelaskan tentang hubungan penggunaan pestisida dengan munculnya penyakit goiter agar para pembaca bisa mengetahuinya.Sehingga mereka menjadi tahu gambaran umum dari penyakit  goiter tersebut.Dengan begitu mereka akan mengurangi pemakaian pestisida agar tidak berlebihan.




No comments:

Post a Comment

Tampilan arsip Teratas

PSEA (Protection from Sexual Exploitation and Abuse)

PERKENALAN PSEA (Protection from Sexual Exploitation and Abuse) Dalam semua konteks di mana lembaga atau organisasi pembangunan dan/atau ban...

Tampilan Arsip Populer